Ekspor Batu Bara Dilarang, Jepang-Korsel Kelabakan

Ekspor Batu Bara Dilarang,  Jepang-Korsel Kelabakan

PRESIDEN Joko Widodo membuat keputusan besar di penghujung tahun 2021: batu bara tidak boleh diekspor sampai 31 Januari. Berbagai negara mulai menjerit karena Indonesia pengekspor terbesar batu bara di dunia.

Menteri Perdagangan (Mendag) Korea Selatan Yeo Han-koo sudah ketar-ketir. Ia minta Mendag RI Muhammad Lutfi untuk menyudahi kebijakan itu.

Yeo menyampaikan keluhannya dalam rapat daring kemarin (9/1). Batu bara menjadi salah satu sumber listrik utama Negeri Ginseng itu. Mereka sudah biasa berlangganan ke Indonesia. ”Menteri Perdagangan Yeo minta ’dengan sangat kuat’ kerja sama dari pemerintah Indonesia agar pengapalan batu bara bisa segera dimulai kembali,” ujar Lutfi dalam rilisnya.

Korea menjadi negara tujuan ekspor batu bara terbesar keempat. Mereka butuh 24,78 juta ton per tahun.

Sebelum Korsel, Jepang sudah lebih dulu mengeluh. Kedutaan Besar Jepang di Indonesia menyurati pemerintah agar batu bara berkalori tinggi yang biasanya tidak dipakai di Indonesia tak ikut dilarang.

Kebutuhan Jepang lebih besar ketimbang Korsel. Yakni, 26,97 juta ton per tahun. Di peringkat kedua ada India dengan 97,51 juta ton. Sementara itu, puncaknya adalah Tiongkok: 127,78 juta ton.

Pemerintah melarang ekspor batu bara karena krisis energi dalam negeri. Pembangkit listrik PLN dan pengembang listrik swasta kesulitan untuk mendapatkan pasokan dari dalam negeri.

Gara-gara krisis itu, 20 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terancam tidak beroperasi. Yang terancam kemudian adalah 10 juta pelanggan PLN.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim menilai, kebijakan larangan ekspor itu terlalu mendadak. Padahal, ada perjanjian ekspor yang harus disepakati. ”Ini menyangkut hubungan antarnegara dan kepercayaan terhadap kontrak,” kata mantan direktur transmisi dan distribusi PT PLN dan direktur PT Indonesia Power itu.

Ia melihat PLN sudah punya kontrak kerja dengan berbagai perusahaan. Ada kontrak jangka panjangnya. Jika PLN sampai kesulitan tidak dapat batu bara, berarti ada pemasok yang tidak menjalankan kontrak. Seharusnya, perusahaan itulah yang dievaluasi. Tidak disapu rata.

Atau, tahun lalu PLN tidak membuat kontrak jangka panjang. Akibatnya, pasokan batu baranya krisis. ”Kalau situasinya begini, PLN yang disalahkan,” jelas pria yang pernah menempuh pendidikan extra high voltage design di Newcastle, Inggris, itu.

Pemberlakuan domestic market obligation (DMO) batu bara juga ia permasalahkan. DMO merupakan kewajiban badan usaha untuk menyerahkan hasil tambangnya kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

DMO sebenarnya penting untuk memastikan ketersediaan energi nasional. Semua itu diatur dalam Surat Keputusan Menteri ESDM No 139 yang dikeluarkan 4 Agustus 2021.

Pemerintah menetapkan DMO sebesar 25 persen. Harga capping ditentukan senilai USD 70 per metrik ton (MT). ”Saya usul supaya dihapus saja lah istilah itu. Karena secara tersirat batu bara itu untuk ekspor. Dalam negeri cuma butuh 25 persen,” jelas mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sumatera Barat itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: