Kasus Pemukulan Siswa Hentikan PTM 100 Persen
Wali Murid Murid Tak Cabut Laporan
Kasus kekerasan terhadap siswa SMPN 49 Surabaya terus berlanjut. Guru yang menjadi pelaku itu terancam kurungan maksimal 3 tahun penjara. Itu mengacu pada pasal 80 ayat 1 UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ali Muhjayin, ayah R, sudah didatangi Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Namun, ia menyatakan tidak akan mencabut laporan kasus itu dari Polrestabes Surabaya. Itu murni keputusannya. Tidak ada intervensi dari siapa pun.
”Kalau memaafkan, ya sudah memaafkan. Tapi, laporan tidak akan saya cabut,” ujarnya saat dihubungi kemarin. Menurutnya, laporan itu harus terus diproses agar kejadian serupa tak terulang di sekolah lain.
Anaknya sempat trauma. Namun, kemarin ia sudah berani masuk sekolah lagi. Sebab, pelaku sudah dipindahtugaskan ke tempat lain.
Visum sudah dilakukan. Hasilnya, tidak ada bekas luka apa pun. Meski begitu, ia masih dalam tahap pemulihan trauma. Mendapat pendampingan psikis dari tim PPA Polrestabes Surabaya.
Ali Muhjayin, orang tua korban kekerasan di SMPN 49 Surabaya. (Julian Romadhon)
Anggota Dewan Pendidikan Jatim M. Isa Ansori turut angkat bicara. Menurutnya, hukuman penjara itu terlalu berat. Berpotensi menjadi hal yang traumatis bagi para guru lainnya. ”Kalau sampai dipecat, misalnya, nanti yang jadi korban kita semua. Terutama anak-anaknya,” ungkapnya.
Sebab, guru tidak bisa dipidana selama bertindak dalam proses pendidikan. Itu sesuai dengan nota kesepahaman antara Polri dan PGRI Nomor 182/Pks/PB/XXI/2017 dan Nomor B/106/XI/2017 tentang Perlindungan Hukum Profesi Guru.
Selain itu, kejadian kekerasan tersebut punya rentang sebab dan akibat yang panjang. Melibatkan semua pihak. Bukan hanya sekolah, melainkan juga wali murid dan guru. Untuk itu, kasus tersebut harus bisa menjadi evaluasi bersama.
Belum ada aturan yang jelas untuk membedakan antara ketegasan dan kekerasan. Dengan demikian, banyak kasus serupa yang terjadi di sekolah-sekolah. ”Terutama di tingkat sekolah dasar dan menengah pertama,” jelasnya.
Namun, Isa menyatakan bahwa pelaku harus tetap dikenai sanksi untuk efek jera. Tujuannya, tak ada kejadian serupa. Caranya dengan pendekatan restorasi. Difasilitasi dinas pendidikan dan kepolisian.
Dengan begitu, korban dan pelaku sama-sama merasa terlindungi. ”Misalnya, diberi sanksi tidak boleh mengajar dalam rentang waktu tertentu. Atau dipindah ke tempat kerja yang lain,” imbuhnya.
Guru besar sosiologi Universitas Airlangga Prof Bagong Suyanto juga berpendapat. Kasus kekerasan yang dilakukan guru itu mencerminkan satu hal. Yakni, ketidakmampuan guru dalam mengembangkan metode pembelajaran.
”Jadi, yang dikedepankan emosinya. Guru yang pintar tak seperti itu,” katanya. Fungsi guru harus punya daya ekstra sabar. Sebab, menghadapi beraneka ragam siswa. Kesadaran itulah yang perlu tertanam di benak para guru. Setiap pendidik tidak boleh berharap proses pembelajaran bisa terus berlangsung lancar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: