Plasma Konvalesen Melimpah, WHO Tak Rekomendasikan

Plasma Konvalesen Melimpah, WHO Tak Rekomendasikan

Stok plasma konvalesen (TPK) Surabaya melimpah. Ada 1.323 plasma beku yang disimpan di gudang Unit Transfusi Daerah (UTD) PMI Surabaya kemarin (4/3). Masalahnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mengeluarkan rekomendasi agar terapi plasma konvalesen (TPK) tidak digunakan pada pengobatan Covid-19 sejak 7 Desember 2021.

MESKI sudah ada rekomendasi tersebut, PMI Surabaya tetap harus melayani permintaan rumah sakit. Permintaan pun datang dari luar daerah. “Kalau Surabaya RSUD Soewandhie dan Husada Utama. Kemarin Bangkalan juga minta,” ujar Humas PMI Surabaya dr Wandai Rasotedja saat ditemui di kantornya, Jumat (4/2).

Kasus Covid-19 di Surabaya memang meningkat tajam dalam tiga pekan terakhir. Pada 13 Januari lalu, jumlah pasien yang dirawat hanya 2 orang. Kemarin jumlahnya sudah melonjak 839 kasus. Rinciannya 835 pasien ber-KTP Surabaya, sisanya luar kota.

Belum ada pemberitahuan resmi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait kelanjutan TPK. Sudah ada penelitian dari Balitbang Kemenkes pada September 2020. Namun uji klinis terkait TPK belum ada. Karena itulah PMI tetap menyalurkan plasma tersebut. “Selama ada yang minta, kami kirim,” kata pria keturunan Jawa-Batak Mandailing itu.

Rekomendasi WHO itu mengacu pada penelitian British Medical Journal (BMJ) tahun lalu. Mereka menggelar 16 uji coba yang melibatkan 16.236 pasien dengan infeksi Covid-19 ringan, parah, dan kritis.

Hasilnya TPK tidak membawa dampak signifikan pada mereka. Karena itulah WHO tidak merekomendasi pemberian plasma pada pasien dalam kondisi ringan dan sedang. Pemberian plasma hanya boleh dilakukan untuk pasien bergejala berat dalam konteks penelitian atau uji klinis terkontrol.

Alasan lainnya, TPK sangat mahal. Sebab peralatan yang digunakan untuk memanen plasma termasuk barang langka yang sifatnya sekali pakai. Sedangkan harga mesin apheresis dibanderol Rp 1 miliar per unit. 

Meski WHO sudah mengeluarkan rekomendasi, pro kontra tentang TPK masih terus berlanjut. Ada yang masih optimistis TPK bisa menyembuhkan. Cuma, formulanya belum ketemu.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) melanjutkan investigasi lanjutan tentang TPK 7 Januari lalu. Mereka meneliti efikasi plasma, kapan harus diberikan, batasan minimal antibodi, hingga berapa jumlah dosis yang pas. 

FDA memperbolehkan RS memberikan layanan itu untuk kepentingan penelitian. Namun, RS harus mengambil PK dari lembaga yang sudah terverifikasi oleh FDA. Tujuan utamanya agar dosis dan tingkat antibodinya bisa dipantau.

New York University (NYU) Grossman School of Medicine juga mengeluarkan hasil penelitiannya pada 25 Januari lalu. Mereka melibatkan 2.341 pasien penerima TPK. Hasilnya, pasien yang mendapat donor antibodi punya peluang kematian 15 persen lebih kecil ketimbang pasien tanpa TPK.

Peneliti menemukan bahwa manfaat TPK cocok untuk pasien yang berisiko mengalami komplikasi parah karena kondisi yang sudah ada sebelumnya.  Seperti diabetes atau penyakit jantung. 

“Plasma yang diinfuskan meningkatkan kemampuan tubuh mereka untuk melawan virus, tetapi hanya pada tahap awal penyakit dan sebelum penyakit menguasai tubuh mereka,” ujar ahli Biostatistik Andrea B. Troxel, dikutip oleh nyulangone.org. Karena itulah timing sangat menentukan.


Papan imbauan yang masih mengampanyekan terapi plasma konvalesen di PMI Surabaya.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Penelitian harus terus dilakukan untuk mengetahui potensi TPK dalam pengobatan Covid-19. Troxel mengatakan manfaat pengobatan itu akan semakin jelas jika ada lebih banyak data yang didapat dari berbagai negara. 

Dokter Spesialis Paru RSUD Soewandhie Surabaya Pramanindyah Bekti Anjani masih menggunakan TPK untuk pasiennya hingga kemarin. “Kalau kasus berat, ya masih lah,” kata Anin, sapaan akrab Pramanindyah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: