Wadas

Wadas

Para petani menolak perampasan paksa. Terjadilah perlawanan keras.

Kasus yang sama terjadi di Nipah, Sampang, Madura, pada 1993. Ratusan petani dari delapan desa menolak pembangunan waduk yang dilakukan pemerintah dengan mengambil tanah-tanah pertanian.

Bagi warga Madura, tanah mempunyai nilai budaya yang tinggi sebagai pusaka warisan leluhur. Tanah warisan tidak boleh dijual begitu saja karena ada nilai penghormatan kepada orang tua yang telah mewariskan tanah itu. Perampasan tanah adalah penghinaan terhadap martabat keluarga. ”Atembang poteh mata ango’an poteh tolang”, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Begitu pepatah orang Madura yang memilih mati daripada dipermalukan.

Tapi, pemerintahan Orde Baru melihat tanah itu sebagai aset ekonomi yang menganggur dan telantar. Tanah tersebut akan lebih produktif jika dimanfaatkan untuk pembangunan waduk, yang bisa menyediakan irigasi untuk mengairi sawah-sawah yang selama ini hanya mengandalkan tadah hujan.

Pendekatan pembangunanisme pragmatis, yang mengabaikan faktor budaya lokal, menghadapi resistansi tinggi dari masyarakat. Terjadi konfrontasi langsung antara petani dan aparat bersenjata di lapangan. Beberapa petani mati akibat tembakan aparat.

Di Jawa Tengah, pembangunan waduk Kedung Ombo pada 1985 juga menghadapi resistansi warga yang menolak digusur paksa. Berbagai intimidasi dan kekerasan dilakukan aparat terhadap warga yang tetap bergeming. Beda dengan warga Nipah yang konfrontatif, warga Kedung Ombo lebih banyak melakukan perlawanan pasif. Rezim Orde Baru ketika itu mendiskreditkan gerakan rakyat tersebut sebagai gerakan PKI.

Pendekatan kekerasan bisa terjadi dalam bentuk penahanan dan intimidasi oleh aparat, seperti di Jenggawah dan Kedung Ombo. Pendekatan kekerasan bersenjata terhadap resistansi rakyat diperlihatkan dalam kasus Nipah dan Talangsari. Pendekatan kekerasan melalui kekuasan simbolis masih banyak terjadi di berbagai tempat di Indonesia.

Para petani dan pemilik tanah miskin selalu rentan terhadap pengambilalihan paksa oleh penguasa. Dalam banyak kasus, muncul mafia-mafia tanah dari kalangan swasta, yang bersekongkol dengan kekuasaan untuk membentuk oligarki yang mengintimidasi rakyat.

Kasus Wadas harus menjadi wake up alarm, alarm bangun pagi, bagi pemerintahan Jokowi. Obsesi terhadap pembangunan infrastruktur tidak seharusnya mengabaikan dimensi manusia dalam pembangunan.

Konflik Wadas sekaligus menjadi pengingat bahwa kasus-kasus yang sama masih banyak yang terpendam dan setiap saat bisa meledak menjadi konflik yang lebih besar. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: