Fast Fashion, Tren Berpakaian yang Menyebabkan Krisis Lingkungan

Ilustrasi seorang perempuan yang sedang memilih pakaian--freepik.com
HARIAN DISWAY - Tren berpakaian memang tidak pernah ada habisnya, setiap hari bahkan setiap minggu selalu memiliki hal baru yang menarik perhatian masyarakat.
Ditengah kecepatan perubahan ini muncul istilah fast fashion sebagai bagian dari gaya hidup modern dalam berpakaian atau berbelanja.
Anda sudah tahu, fast fashion merupakan istilah yang digunakan dalam industri mode yang memproduksi pakaian dengan cepat, banyak dan murah. Bahkan, banyak meniru tren terbaru dari beberapa brand besar untuk dijual kembali.
BACA JUGA: Tren Permohonan Desain Industri, Transportasi hingga Fesyen Banyak Terlindungi
Tanpa disadari, toko-toko berlomba-lomba menghadirkan koleksi baru dalam waktu singkat dengan harga yang terjangkau. Bagi sebagian orang, kondisi ini sangat menguntungkan. Yang mana, dapat terus mengikuti tren membeli baju dengan harga yang murah dan mudah didapatkan.
Hingga, keadaan ini dianggap sebagai gaya hidup yang harus diikuti dengan siklus yang dilakukan berulang kali, dengan membeli, menyimpan, bosan, ada tren baju baru, lalu membeli lagi.
Namun, dibalik kemudahannya, fast fashion memiliki banyak kontroversi dan dianggap memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan makhluk hidup, termasuk manusia.
BACA JUGA: Mendag Apresiasi Produk Fesyen Dalam Negeri Sejajar dengan Karya Luar
Fast fashion dianggap sebagai dalang meningkatnya limbah tekstil, apalagi fast fashion memiliki konsep produksi massal dengan penggunaan bahan yang sulit didaur ulang. Sehingga, bahan pakaian sulit terurai dan dapat mencemari lingkungan.
Fast fashion memiliki ciri meniru tren baju dengan diproduksi secara massal dan harga yang terjangkau--freepik.com
Hal ini sesuai dengan analisis yang dilakukan oleh Business Insider, yang mengungkapkan fast fashion telah menyumbang 10 persen dari total emisi karbon global, angka ini sama besar dengan emisi yang dihasilkan oleh Uni Eropa.
Selain itu, produksi massal dengan harga murah membuat para pekerja seolah diperbudak untuk tetap bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah rendah, dan kondisi kerja yang tidak aman. Apalagi, para pekerja dalam industri ini kebanyakan diisi oleh seorang perempuan.
BACA JUGA: Thrift Shopping Sebagai Tren Fashion dan Sustainability
Dilansir dari Oxfam Canada, secara global, pekerja garmen merupakan perempuan berusia 18 hingga 24 tahun. Di china 70 persen adalah perempuan, sedangkan di bangladesh terdapat 80 persen pekerja perempuan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: diolah dari berbagai sumber