Setahun, PLTSL Hanya Dipasang di 20 Titik

Setahun, PLTSL Hanya Dipasang di 20 Titik

MINAT pemasangan panel surya di rumah atau perkantoran masih minim. PLN Jatim hanya melayani 20 pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap sepanjang 2021–2022. Ada banyak evaluasi yang harus dilakukan untuk memopulerkan listrik ramah lingkungan itu.

”Salah satunya keluhan after sales,” ujar Manager Revenue Assurance dan Mekanisme Niaga Ari Rukminto. Kerusakan setelah pemasangan sering kali terjadi. Kendala itu sebenarnya bukan ranah PLN. Namun, setiap kali ada kerusakan, pelanggan langsung menghubungi PLN.

Bisnis jasa pemasangan panel surya memang dibuka untuk umum. Pelanggan PLN bisa beli ke swasta. Bebas. PLN menyediakan jasa penggantian meteran listrik.

Metode itu dinamakan PLTS atap on-grid. Listrik dialirkan searah (DC) dan oleh inverter diubah menjadi arus bolak-balik (AC). Baru setelah itu disinkronkan dengan arus listrik dari PLN. Metode tersebut memungkinkan untuk proses ekspor listrik ke PLN saat siang hari ketika pemakaian listrik lebih kecil.

Sistem itu cocok untuk pelanggan rumah tangga, kantor, atau pabrik. Biaya listrik bulanan bisa dihemat. Untuk pelanggan yang memiliki panel surya kWp ekspor, penghematan listrik bulanan bisa mencapai Rp 500 ribu. Makin luas panel suryanya, makin hemat.

Ada juga PLTS off-grid. Listrik ditampung ke baterai. Metode itu biasanya dipakai untuk area yang masih sulit dijangkau listrik PLN. Proses ekspor listrik tetap bisa dilakukan dengan metode hybrid. Pakai baterai, tapi tetap bisa jual listrik ke PLN. ”Yang lapor kerusakan biasanya yang on-grid,” jelasnya.

Saat ini total PLTS atap di Jatim mencapai 380 unit. Biasanya penambahan pelanggan berasal dari industri yang mengirim barang ekspor. Beberapa negara tujuan mensyaratkan produk itu harus memakai listrik hemat energi. Nah, PLN-lah yang menerbitkan surat tersebut.

Guna mempermudah pelayanan, Ari menyarankan pelanggan memakai layanan anak perusahaan PLN: PT Pembangkit Jawa-Bali (PJB). Jika ada kerusakan, proses perbaikan bisa dilakukan lebih komprehensif.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mengatakan, problem lain dari pengembangan PLTS atap adalah skema tarif. Ia sudah sejak lama mengusulkan agar pemerintah memakai skema feed-in tariff untuk energi baru terbarukan (EBT). ”Di negara-negara Eropa sudah berlaku sistem ini,” kata lulusan S-2 power system analysis-Manchester University itu.

Metode tersebut dipelopori negara-negara Uni Eropa seperti Jerman, Spanyol, Swiss, dan Belanda. Sistem itu menjadi stimulus penggunaan dan instalasi sistem energi terbarukan dengan cara memberikan insentif kepada pihak yang memasang EBT.

Feed-in tariff mewajibkan perusahaan utilitas mayor semacam PLN untuk membayar tarif listrik di atas biaya pokok produksi (BPP) dari bahan bakar fosil. Ada imbalan yang diberikan kepada setiap pihak yang mendukung kampanye energi hijau itu. Bahkan, jika terjadi surplus listrik, pelanggan bisa mendapatkan penghasilan tanpa membayar tagihan listrik.

Kerja sama dengan pihak perbankan bisa dilakukan. Sebab, investasi PLTS atap cukup mahal. Herman mengeluarkan uang Rp 40 juta untuk memasang panel surya berkapasitas 3 kWp di rumahnya.

Selain itu, reward bagi pemasang PLTS atap juga belum ada. Herman mengusulkan agar setiap rumah yang punya panel surya diberi bendera hijau sebagai kampanye EBT. ”Tumbuhkan rasa kebanggaan itu. Kalau tidak, ya penambahan energi ramah lingkungan kita ya di situ-situ saja,” lanjut teknokrat kelahiran Guguak Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 15 April 1954, tersebut. (Salman Muhiddin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: