35 Hari, Diskusi Logis Mengubah Ideologi Napiter
Paham radikalisme memang sangat susah diubah. Apalagi, konsep itu sudah berakar dalam hidup seseorang. Dengan demikian, diperlukan proses panjang untuk mengikis pemahaman itu. Proses tersebut membutuhkan kesabaran. Juga, tidak boleh gegabah. Yang ada nantinya jadi adu argumen. Debat kusir.
----------------------------
LAPAS Kelas 1 Surabaya di Porong pada 14 Januari 2022 menerima warga binaan baru. Ada tiga orang. Mereka adalah Muhammad Subkhan, Muliamin Supardi, dan Slamet Rudhu. Semuanya narapidana terorisme (napiter). Mereka pindahan dari Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 1 Depok.
Berdasar asesmen, ketiganya masuk tipe merah. Untuk napiter, ada tiga tipe. Pertama, hijau. Artinya, napi itu sudah menyatakan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). kedua, kuning. Napiter yang belum setia ke NKRI. Tapi, perilaku dan pandangannya sudah berubah.
Ketiga, merah. Dalam kondisi itu, pemahaman mereka masih sangat radikal. Masih sangat keras. Napi tersebut memandang petugas di lapas adalah kafir. Mereka menganggap menjalani hukuman di lapas berarti mereka sedang perang. Tidak mau ibadah di masjid lapas. Karena dianggap haram.
”Awal mereka datang dari Rutan Kelas 1 Depok ya masih merah. Tapi, saat itu ketiganya masih dalam masa karantina. Berada di ruang khusus. Terpisah dari warga binaan lainnya,” kata Kasi Pembinaan Kemasyarakatan (Bimkemas) Bambang Sugianto Jumat (18/2).
Karena tiga napiter itu masih memegang teguh paham radikal, Bambang melakukan pendekatan secara perlahan. Pendekatan secara humanis sekaligus logis. Membuat para napiter itu percaya dulu kepada petugas. Setelah itu, barulah mencari pintu untuk masuk dan mengubah sudut pandang terkait ajarannya.
Juga, membangun kecintaan dan kesetiaan kepada NKRI. Karena itu, sejak awal bertemu, Bambang memberikan kesempatan ketiganya untuk mengungkapkan pandangannya tentang pemahaman yang mereka pahami.
”Saya selama 14 tahun menangani napiter itu, saya tidak pernah menangani dengan kontranarasi. Sebab, kalau itu yang dilakukan (adu dalil), akan percuma. Hanya akan mempertahankan keyakinan masing-masing. Ujung-ujungnya malah ribut nanti,” ucapnya.
Teorinya, sebelum ditangkap, para teroris bertemu dengan kelompok radikal. Ada tiga faktor yang membuat mereka mau bergabung dengan kelompok tersebut. Pertama, ketertarikan. Kedua, motivasi untuk bergabung. Lalu, fasilitas apa yang diperoleh ketika sudah bergabung.
”Kalau sudah dapat itu semua, pasti akan gampang untuk masuk dan mengubah paham-paham radikal yang mereka miliki. Kemarin itu saya melakukan itu. Saya ajak mereka bercerita satu per satu. Karena gak mungkin bertiga langsung diajak berbincang,” bebernya.
Cara itu sudah sering digunakan. Terbukti, tiga napiter itu dalam waktu 21 hari, paham radikal tersebut sudah pudar. Sekitar awal Februari. Namun, mereka tidak mau gegabah untuk langsung percaya. Secara diam-diam, Bambang memantau tiga napiter tersebut.
”Saya tidak mau gegabah. Saya gak mau itu hanya kepura-puraan. Agar nantinya mendapat fasilitas. Salah satunya seperti remisi. Jadi, saya harus memantau betul-betul kesungguhan mereka,” tambahnya. Bambang melihat pemahaman yang dimiliki ketiganya sudah berubah.
Karena itu, kemarin (18/2), tepat 35 hari napiter itu berada di Lapas Kelas 1 Surabaya, dilakukan ikrar kesetiaan kepada NKRI. Sumpah itu diambil di aula M.D. Arifin di lingkungan lapas. Plt Kepala Kanwil Kemenkum HAM Jatim Wisnu Nugroho Dewanto hadir dalam ikrar tiga napiter itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: