Ribuan Kepala dan Kaki di Museum Potehi
Toni Harsono konsisten membeli setiap kepala wayang potehi yang dihasilkan oleh para perajin. Tak pernah ia menolak. Akibatnya jelas. Museum Potehi Gudo punya stok melimpah. Oversupply.
LELAKI itu terpekur di depan mesin bubut yang terus menerus berputar di depan Museum Potehi Gudo, Jombang, 26 Januari. Tekun sekali. Tangannya bergerak menghaluskan batangan-batangan kayu kecil. Warna kayu itu kekuningan. Kayu nangka.
Perajin itu adalah Kalis. Ia memang sudah dipercaya Toni Harsono untuk menjadi perajin kaki dan tangan boneka wayang potehi. Maka, saban hari ia pun bekerja. Menghasilkan bentuk-bentuk kaki dan tangan yang kemudian dicat dan dipasang pada boneka.
Sepintas, kaki-kaki itu sama bentuknya. Padahal, berbeda. Ada yang bagian tumitnya lebih tebal. Ada yang lebih runcing ujungnya. Ada yang lebih kecil ukurannya. ’’Mirip, ya? Tapi memang kaki untuk laki-laki dan perempuan berbeda,’’ ujar Kalis.
Hari itu, Kalis berbaju kaus dan bercelana pendek. Kepalanya ditutupi topi doreng piksel berwarna kelabu. Santai sekali penampilannya.
Di sela-sela perbincangan Kalis dengan Harian Disway, datanglah beberapa kru kelompok wayang potehi Fu He An. Mereka membawa tiga karung putih. Karung-karung itu lantas diletakkan di depan di depan Kalis.
Karung itu memang tidak tampak terlalu berat. Tetapi juga tidak ringan. Anteb-lah, kata orang Jawa. Dan isinya adalah: kaki-kaki boneka potehi. Setiap 10 pasang kaki diikat menjadi satu. Lalu ditaruh di dalam karung tersebut. Tentu, jumlahnya ribuan.
Dan kaki-kaki semacam itu sangat banyak di museum. Beberapa di antaranya seperti berserakan. Dengan kondisi yang seperti berjemur dan berdebu. Entah, apakah bisa digunakan lagi atau tidak.
Banyaknya stok kaki itu memang buah konsekuensi Toni Harsono dalam melestarikan wayang potehi. Juga menghidupkan asap dapur para perajin wayang potehi. ’’Semuanya saya beli,’’ tegas Toni.
Apakah tidak oversupply? ’’Iya, memang,’’ jawab pedagang emas di Pare, Kediri, tersebut.
Kalis menghaluskan bakal kaki wayang potehi di depan Museum Potehi Gudo.
(Foto: BOY SLAMET-HARIAN DISWAY)
Tapi, Toni tidak mempermasalahkan stok yang sangat melimpah tersebut. Betapa pun, itu adalah wujud janjinya untuk terus menghidupkan nyala semangat wayang potehi.
Kepala, tangan, dan kaki wayang potehi itu akan digarapnya lagi satu per satu dengan telaten. Kalau ada bentuk yang kurang sesuai, ia akan mereparasinya sedikit. ’’Pakai pemes (pisau lipat, Red),’’ ceritanya. Setelah itu, masing-masing boneka itu dicat lagi satu per satu. Sehingga terciptalah bermacam-macam karakter yang bisa dimainkan di panggung.
Menurut Toni, kebutuhan boneka wayang potehi memang sangat banyak. Untuk satu kali penampilan saja, seorang dalang setidaknya harus membawa 100-150 set wayang. ’’Kalau kita ingin konsisten menghidupkan wayang, ya kita harus punya stok boneka yang banyak,’’ ujar Toni.
Apakah Toni tidak pernah merasa rugi? ’’Kalau dihitung uang, memang sudah sangat banyak yang saya keluarkan. Sudah miliaran untuk wayang potehi,’’ katanya. Dalam istilah Toni, soal wayang potehi ia memang gila. Apa pun dilakukannya untuk kesenian yang sudah dicintainya sejak kecil itu. ’’Namanya cinta, mau bagaimana lagi?’’ ucap Toni.
Karena cinta itu pula, Toni pernah kehilangan emas yang cukup banyak di tokonya. ’’Saya kan sibuk ngurus potehi. Nge-cat wayang-wayang sambil urusi toko. Tiba-tiba, dalam satu periode, ada 1 kilogram emas yang hilang,’’ katanya sambil menggelengkan kepala.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: