Cendekiawan dalam Pusaran Politik (Tanggapan Artikel Prof Biyanto)

ILUSTRASI Cendekiawan dalam Pusaran Politik (Tanggapan Artikel Prof Biyanto).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
SIDNEY HOOK, intelektual kiri Amerika Serikat (AS), sedang galau seusai menyelesaikan disertasi doktornya di Universitas Columbia pada 1927. Ia tak puas terhadap pemikiran pragmatisme yang sedang digandrungi saat itu.
Pragmatisme bertumpu pada kebenaran plus kebermanfaatan. Bernilai benar saja, itu masih kurang. Perlu juga bernilai manfaat. Di bawah bimbingan tokoh beken kala itu, John Dewey, disertasi Hook lantas diterbitkan menjadi buku yang bertajuk The Metaphysic of Pragmatism (1927).
Buku Hook menjadi acuan baru bagi kaum cendekiawan negeri Abang Sam (AS) pada awal abad ke-20. Melalui buku itu, Hook yang baru berusia 25 tahun justru sebaliknya kesengsem pada karya-karya Vladimir Illych Lenin, penggerak Revolusi Bolsheviks 1917.
BACA JUGA: Kematian Tukang Kritik pada Era Post-Truth (Tanggapan untuk Prof Biyanto)
Bagi Hook, karya Lenin menginspirasi dirinya bersama Max Eastman, yang juga murid Dewey, untuk menjadikan Marxisme sebagai pisau analisis saintifik.
Situasi dunia kala itu memang sedang demam revolusi. Untuk mengasah ketajaman analisis, Hook melancong ke Berlin pada Juni 1928, khusus menemui Karls Korsch. Tokoh Marxis Jerman.
Suasana Eropa juga sedang dilanda demam Marxisme. Di Prancis, cendekiawan Julien Benda baru saja merilis buku tersohornya, La Trahison des Clercs (1927).
BACA JUGA:Tanggung Jawab Ilmuwan: Menyambung Keterputusan Antara Pengetahuan dan Kemanusiaan
Georges Canguilhem yang mengajar di Ecole Normale Superiure (ENS) juga terlibat dalam aktivitas politik, begitu pula Georges Bataille, pustakawan Prancis. Mereka rajin mengkritisi kebijakan rezim.
Di Jerman, Inggris, dan Italia, panggung politik dekade 20-an juga diisi para cendekiawan. Misalnya, Norberto Bobbio yang beraliran sosial-liberal dan Nicola Abbagnano yang kesengsem eksistensialisme.
Sepulang ke AS, Hook aktif mengaitkan analisis akademis dengan dunia politik. Alan Wald dalam bukunya, The New York Intellectuals (1987), menulis Hook bertemu dengan Herbert Solow yang secara politis sangat dipengaruhi Elliot Cohen, cendekiawan kelompok Menorah.
BACA JUGA:Memahami Tanggung Jawab Ilmuwan
Lingkaran mereka itu mewarnai kajian kritis Universitas Columbia, AS, sampai dekade berikutnya. Sedangkan pada dekade yang sama, gairah cendekiawan terjun ke politik juga tampak di wilayah Eropa, Asia, dan Afrika Utara.
Umumnya mereka tertarik pada Marxisme karena ideologi itu menyediakan perangkat untuk menganalisis situasi politik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: