Dulu Berdakwah lewat Buku Sekarang lewat YouTube

Dulu Berdakwah lewat Buku Sekarang lewat YouTube

Progresif TV kini tidak hanya mengudara di YouTube. TV yang didirikan Pengasuh Pondok Pesantren Progresif Bumi Shalawat KH Agoes Ali Masyhuri itu sudah Free to Air (FTA) melalui receiver MPEG2 merk apapun dengan frekuensi 3767. Inilah saatnya dakwah menguasai ruang digital. Menggerus radikalisme via internet.

—-

“Mumpung onok slot TV yang bisa diambil. Piro regane? Gak usah ngomong-ngomong. Sampean dungakno ae. Mugo-mugo kulo kuat (Berapa harganya? Tidak perlu diomongkan. Anda doakan saja. Semoga saya kuat). Istiqomah keimanan, tauhid, dan ketaqwaan,” kata Gus Ali di hadapan ratusan Bu Nyai yang hadir dalam launching Progresif TV di Bumi Sholawat, Lebo, Sidoarjo, kemarin (20/2).

Gus Ali duduk di kursi yang sejajar dengan audiens. Tidak di atas panggung yang sudah disediakan panitia. Di hadapannya sudah berjejer tamu undangan dari kalangan pejabat di Jatim.

Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa jadi tamu utama yang meresmikan TV yang digarap para santri itu. Putra Gus Ali yang kini menjabat sebagai Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali juga turut serta di barisan depan. Anak mantu Gus Ali yang jadi Bupati Gresik Fandi Ahmad Yani juga rawuh.

Sedangkan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dari keluarga Pesantren Sidosermo Surabaya ikut hadir. Ya, Surabaya raya memang dikuasai para santri. Tiga kepala daerah itu memang sering ketemu membahas sinergitas pembangunan kota sampai sepakbola bareng.

Di belakang tamu undangan juga sudah dipenuhi audiens perempuan dari Bu Nyai Nusantara (BNN). Cuma, Gus Ali kurang sreg dengan singkatan itu. “BNN itu identik dengan narkoba. Nanti saya carikan singkatan yang lebih cerdas dan familiar,” sebut ulama kharismatik itu.

Gus Ali meminta semua mencatat dua poin omongannya. Pertama, barang siapa yang menguasai media, berarti dia mempunyai separuh peluang menguasai opini publik. Opini itu bisa dibangun, bisa dirusak.

Selama kalah di media massa, umat Islam pasti selalu dianggap rendah derajatnya. Ia mencontohkan kasus guru ngaji menghamili 12 santri di Bandung yang beritanya jadi headline (HL) di semua media. “Ini bukan ketepatan dan kebetulan. Jujur saja: karena kita tidak punya media,” katanya.

Sebaliknya, ia tidak pernah mendapati ada kisah prestasi santri yang jadi headline yang menghiasi media massa secara masif. Padahal Ponpes Bumi Sholawat memiliki santri dengan segudang prestasi hingga taraf internasional.

Santri melakukan pengeditan gambar saat peluncuran Progresif tv di Sidoarjo. (Julian Romadhon)

Kedua, tidak ada pendidikan baik kalau murah harganya. Ia banyak mendengar keluhan mahalnya biaya mondok di Bumi Sholawat. Yang setahun Rp 35 juta. Padahal harga itu dipakai untuk kebutuhan belajar siswa, mondok, makan, outbond, dan banyak kegiatan lainnya. “Biarlah. Itu suara orang yang tidak ingin sekolah Islam maju,” ujar kiai kelahiran 3 September 1958 itu.

Ia juga mengajak semua umat Islam bersatu. Terutama kalangan Nahdliyin, keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU).  Tidak saling menjatuhkan. Sebab ia merasa NU besar dalam jumlah, namun masih minim dalam peran.

Gus Muhdlor juga membicarakan hal yang sama. Ada 108 juta warga NU. Namun yang mau subscribe akun NU di Youtube cuma 631 ribu. Sedangkan di Instagram agak lumayan: 2 juta pengikut. “Kalau yang ikut di YouTube cuma segitu, artinya tidak sampai 1 persennya,” kata Muhdlor.

Data menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menggunakan smartphone selama 8 jam 52 menit. HP sudah mengalahkan apapun. Orang lupa bawa ATM masih tenang. Kalau sudah lupa membawa HP, gelisahnya minta ampun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: