Boneka Tiongkok lebih Tipis

Boneka Tiongkok lebih Tipis

Toni Harsono mengatakan bahwa ia menjaga orisinalitas boneka wayang potehi. Tidak hanya dari bentuk wajahnya. Tetapi juga pada bahan baju dan detail-detail lainnya. Dan terbukti, produk boneka wayang potehi asli Gudo, Jombang, terlihat jauh lebih mantap ketimbang versi Tiongkok.

BRANKAS besi di Museum Potehi Gudo itu benar-benar mengawetkan masa silam. Di situ terdapat ratusan boneka wayang potehi yang usianya sudah puluhan tahun. Bahkan, beberapa di antaranya dari seabad silam.

’’Setahu saya, baju wayang potehi itu seperti ini,’’ katanya sembari menunjukkan sebuah kain usang: baju wayang potehi. Bordirannya masih terlihat. Tetapi, warnanya pudar. Entah putih. Mungkin juga pernah berwarna keemasan. Baunya apak. Seperti gombal (kain lap).

Itulah yang mendasari pemikiran ayah Toni yang melarang anaknya menjadi dalang. Agar tidak seperti boneka potehi: sangat gagah ketika di panggung. Tetapi, ketika di luar panggung, boneka itu diletakkan begitu saja seperti kain tidak terpakai.

Kain baju itu terasa sangat tebal. Bagian luarnya berpola indah. Sedangkan bagian dalamnya adalah kain kasar dan tebal. 

Baju itu bisa dipasang pada boneka-boneka yang sedang telanjang. Boneka telanjang itu artinya belum berbaju. Wujudnya hanya kepala, tubuh yang terbuat dari kain, lengan yang ujungnya ada kepalan dari kayu, dan tungkai yang ujungnya adalah kaki kayu. Boneka telanjang inilah yang lantas dimasuki tangan sehu (dalang) ketika dimainkan. Telunjuk dalang masuk ke kepala boneka. Jempolnya masuk ke satu tangan boneka, dan tiga jari lainnya masuk ke tangan yang lain.

Teknik seperti itulah yang tetap dipakai Toni untuk membuat boneka wayang potehi. Kepala dari perajin lalu ’’dijahit’’ dengan tubuh lalu diberi tangan dan kaki. Untuk bajunya, Toni juga sudah punya langganan perajin.

Sebagaimana di masa lalu, baju boneka wayang potehi itu tebal. Full bordiran. Sangat artistik dan elok.

’’Makanya, harganya mahal,’’ ujar Toni. Biaya pembuatan satu boneka itu bisa mencapai Rp 750 ribu rupiah. Bahkan sampai Rp 2 juta.

Kenapa Toni tidak menjual boneka-boneka itu sebagai suvenir khas Gudo? ’’Ya itu. Mahal. Siapa yang mau beli. Pernah ada yang tanya harga. Ketika saya sebut, mereka kaget, ’Mahal sekali, ya?’,’’ cerita Toni. ’’Jadi, daripada sakit hati dibeli murah, lebih baik saya kasih-kasihkan saja ke orang lain,’’ ujarnya.

Itulah yang membuat Toni menghabiskan miliaran rupiah demi wayang potehi. Tanpa pernah sepeser pun menangguk untung dari—misalnya—jual beli boneka wayang potehi. ’’Jadi, ya saya biarkan saja menumpuk di museum. Siapa tahu, suatu saat nanti, kalau saya sudah nggak ada, harganya justru semakin mahal,’’ ucapnya.

Toni mengaku tidak tergoda untuk membuat produksi wayang potehi menjadi lebih murah. Misalnya dengan cetakan plastik. ’’Rasanya gimana, ya? Detailnya kurang. Seninya kurang. Di Tiongkok banyak wayang potehi yang cetakan itu,’’ tutur Toni.

Kami akhirnya bisa melihat boneka wayang potehi dari Tiongkok itu. Yang cetakan itu. Milik Herdian Chandra Irawan, seorang dalang wayang potehi dari Semarang. ’’Yang punya Pak Toni, dari Gudo, lebih bagus,’’ ujar Herdian yang kami temui pada Rabu (16/2) tersebut.

Herdian membawa dua boneka dari Tiongkok dan satu boneka dari Gudo. ’’Ini pemberian Pak Toni,’’ kata putra dalang kenamaan Semarang, mendiang Thio Tiong Gie, tersebut.

Boneka dari Tiongkok lebih ringan. Tangannya dari plastik. Bentuknya mirip tangan boneka. Detail dengan lima jari yang lentik. Demikian juga kakinya yang bersepatu. Ayunan langkahnya pun terasa lebih ringan. Maklum, plastik.

Boneka yang kiri adalah buatan Gudo, Jombang. Terlihat bentuk tangan kayunya. Juga bajunya yang berhias bordir tebal. Boneka dari Tiongkok bertangan plastik cetakan. Sedangkan bajunya pun lebih tipis.
(Foto: BOY SLAMET-HARIAN DISWAY)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: