Kikis Praktik Maisir dan Gharar
Nah, selanjutnya yang perlu dipertegas adalah apakah ada perjanjian dari BPJS untuk menempatkan uang yang dipotong tersebut sebagai dana investasi ataukah hanya sekadar dana tabungan, atau dana tabarru’?
Jika potongan tersebut (baca: premi) dimasukkan ke dalam sub dana investasi, maka kewajiban dari BPJS adalah mengembalikan uang plus hasil investasinya (istitsmary). Namun, apabila potongan terseut masuk ke dalam sub dana tabungan, maka pihak BPJS hanya berkewajiban mengembalikan sebesar uang yang pernah dipotong sebagai premi.
Di sisi lain, jika mencermati adanya kepastian pembatasan usia pensiun, maka tidak ada kemungkinan menjadikan dana premi peserta berlaku sebagai dana tabarru’.
Oleh karenanya, hanya dua kemungkinan status JHT itu berlaku atas karyawan terkait relasinya dengan jasa asuransi, yaitu sebagai investor, atau sebagai muqridl (pihak yang mengutangi).
Hukum Asuransi JHT
Berbekal pemahaman terhadap alur transaksi di atas, maka syarat sah berlakunya asuransi adalah keharusan menepati ketentuan yang berlaku dalam akad kafalah dan akad dlaman.
Karena kedudukan lembaga asuransi adalah berperan selaku kafil dan sekaligus dlamin, maka peran itu tidak ada ubahnya dengan peran wakil perusahaan atau wakil karyawan.
Sahnya peran kafil, dlamin ataupun wakil, adalah apabila pihak wakil tersebut telah di-ta’yin. Dalam hal ini, BPJS Ketenagakerjaan merupakan yang berlaku sebagai pihak yang mu’ayyan.
Adapun berkaitan dengan jenis objek yang dijamin atau diwakilkan, maka tidak ada ketentuan dalam syara’ untuk mengetahui secara rinci. Alasannya, adalah karena baik kafalah, dlaman atau wakalah, ketiganya adalah akad yang dibolehkan karena dlarurah li al-hajah (darurat karena pertimbangan kebutuhan).
Yang perlu ditegaskan kemaklumannya adalah kejelasan waktu penunaian pekerjaan dan penyampaian utang. Mengapa? Karena kafalah adalah rumpun dari akad ijarah dengan objek berupa manfaat pekerjaan. Akad kafalah akan berubah menjadi akad gharar apabila tidak bisa dibatasi oleh durasi kontrak (muddah) dan penunaian pekerjaannya (amal).
Sementara itu, ditinjau dari sisi harta yang diwakilkan lewat relasi akad dlaman, maka penyerahan harta tersebut juga meniscayakan diketahui waktu dan tempat penyerahannya (waqtu mahallihi). Mengapa? Karena akad dlaman adalah bagian dari cabang akad jual beli.
Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu syarat sah jual beli dalam Islam adalah wajib imkanu al-qabdli dan imkanu al-taslim (bisa serah terima harga dan barang). Untuk itu dibutuhkan batasan waktu penyerahannya.
Berangkat dari sini, maka dengan penetapan usia 56 tahun sebagai waktu penyerahan JHT, berdasarkan tinjauan dari sisi jurisprudensi hukum Islam, adalah justru menghilangkan kesan ada praktik gharar (spekulasi) dan maisir (untung-untungan) pada asuransi BPJS Ketenagakerjaan.
Justru ini akan lebih menguntungkan pihak karyawan sebab terjamin penunaiannya. Lain halnya dengan ketiadaan batas penetapan usia 56 tahun.
Adanya banyak kasus yang membelit perusahaan jasa asuransi dan sekaligus nasabahnya akhir-akhir ini adalah karena ketiadaan jaminan dan kepastian kapan permohonan klaim asuransi itu diserahkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: