Bangsa Saya Indonesia Terlalu Baik, Tapi Saya Tidak!
Jeffry Pondaag tak pernah kalah oleh Belanda. Gugatan atas kekejaman Belanda selalu terbukti dan dimenangkan oleh Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Di situ, Jeffrey adalah ujung tombaknya. Semua kegigihan dan perjuangan tanpa imbalan itu tak bisa dilepaskan dari kisah ketika ia masih remaja.
JEFFRY lahir di Jakarta pada 1953. Masa remajanya dihabiskan di Indonesia. Saat berusia 16 tahun, ibunya yang keturunan Belanda memutuskan pindah di kediaman nenek Jeffry di Negeri Kincir Angin tersebut. Keluarganya pun ikut diboyong ke sana.
Kini Jeffry sudah 53 tahun tinggal di Belanda. Kewarganegaraannya tetap Indonesia. Raganya memang tak lagi berada di bumi Nusantara, tapi hatinya selalu ada untuk Indonesia.
Sejak pindah ke Belanda, ia memendam amarah yang begitu dalam. Orang Indonesia dituding sebagai penjahat yang bersalah bagi Belanda. “Kalian orang Indonesia itu ekstremis, teroris, perampok, dan Soekarno itu kolaborator Jepang,” ujar Jeffry saat menceritakan kisahnya melalui telepon WhatsApp, Selasa (1/3) lalu.
Dalam batinnya, apa tidak terbalik? Bukankah Belanda yang melakukan itu semua. Merampok wilayah yang jauhnya belasan ribu kilometer dari tanah air mereka. Padahal kepulauan Indonesia saat itu sudah berpenghuni.
Ketika terusir pada 1942, Belanda kembali lagi mengambil tanah air yang bukan hak mereka. Terlebih Indonesia sudah memproklamasikan diri 17 Agustus 1945. Hari jadi Indonesia itu tidak pernah diakui Belanda sampai sekarang.
Belanda-lah yang menebar teror ke rakyat sipil. Dan itu sudah terbukti berkali-kali dalam gugatan Jeffry untuk korban Westerling di Sulawesi Selatan atau Rawagede. Belanda juga terbukti melakukan kekejaman ekstrem yang sudah diakui Perdana Menteri Mark Rutte bulan lalu.
Ironisnya semua tuduhan itu keluar dari saudaranya sendiri yang lebih dulu pindah ke barat dan memilih kewarganegaraan Belanda. Rupanya, tudingan itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Bangsa Indonesia selalu dianggap sebagai kasta rendah.
Di pengujung 2005, Jeffry menjadi pucuk pimpinan Yayasan KUKB. Sejak saat itu ia menelusuri berbagai kejahatan perang yang menjadi dosa-dosa masa lalu Belanda. Bukti terkuat pertama didapatkan di Rawagede, sebuah kampung di Kabupaten Karawang Jawa Barat.
Peristiwa itu terjadi sehari setelah Perundingan Renville dimulai. Tepatnya 9 Desember 1947. Pasukan Belanda mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah warga sipil. Tak ditemukan satu pun senjata kala itu.
Mereka menanyakan tempat persembunyian para pejuang Indonesia. Tidak ada yang memberi tahu. Mereka pun mengumpulkan semua penduduk di tanah lapang. Yang laki-laki diminta berdiri berjejer.
Mereka kembali ditanya keberadaan para pejuang itu. Tapi tidak ada satu pun pengkhianat negara di sana. Mereka tetap bungkam. Pimpinan tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk mengeksekusi semua lelaki di kampung itu. Termasuk para remaja. Mereka diberondong dengan senapan mesin tanpa perlawanan.
Salah satu korbannya adalah Saih bin Sakam. Ia pura-pura mati ketika tangannya tertembus peluru. Sedangkan sang ayah yang berdiri di sampingnya tak selamat. Begitu Belanda pergi, ia bergegas melarikan diri.
Kesaksian Saih sebagai satu-satunya korban yang masih hidup itulah yang membuat tuntutan KUKB dimenangkan. Sebanyak sembilan janda korban kekejaman peristiwa Rawagede dapat kompensasi sebesar 20 ribu Euro atau setara Rp 243 juta per keluarga korban. Sayang beberapa bulan setelah putusan hakim di Den Haag, Saih meninggal dunia.
Hari itu Belanda membantai 431 penduduk sipil Rawagede tanpa alasan. Sedangkan pihak Belanda meyakini bahwa jumlah korban cuma 150 orang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: