Sutanto Mendut Kritisi Kebijakan Pemerintah Soal Tiket Candi Borobudur

Sutanto Mendut Kritisi Kebijakan Pemerintah Soal Tiket Candi Borobudur

-Senipedia-

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Publik sempat digemparkan oleh kebijakan anyar terkait tiket Candi Borobudur jadi Rp 750 ribu. Meski pernyataan terbaru, pemerintah menunda perubahan tarif itu. Beberapa budayawan dan pemuka agama Buddha setempat turut angkat bicara. Mereka melontarkan usulan dan kritik lantaran kenaikan tiket hingga 1.500 persen itu dinilai tak masuk akal. Pun demikian dengan budayawan Sutanto Mendut

 

Presiden pertama Komunitas Lima Gunung itu tinggal selama 40 tahun di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Jaraknya hanya sekitar 4 kilometer ke Candi Borobudur. Ia menilai ada yang luput diperhatikan oleh pemerintah.

BACA JUGA: Harga Tiket Candi Borobudur Rp 750 Ribu Untuk Pelancong Lokal

"Karena ini bukan soal angka. Angka itu kan ilmu seputar berhitung seperti anak-anak TK dan SD. Berapa tambah berapa hasilnya berapa," jelasnya saat dihubungi, Kamis, 9 Juni 2022. Dan itu sama sekali tidak berkaitan dengan kebudayaan, antropologi, bahkan peradaban. Baginya, peradaban menyoal cara mendidik, berintrospeksi, merawat, dan melestarikan. Itulah alasan Candi Borobudur ditetapkan sebagai warisan dunia. Sebagai pusaka budaya dari peradaban leluhur Nusantara.


Candi Borobudur-Boy Slamet-Harian Disway

Artinya, pusaka budaya itu mengajarkan cara beragama yang baik. Dilakukan secara terus menerus hingga bercokol menjadi peradaban. Menurutnya, hal itu yang kurang digali selama ini. Bahkan oleh para akademisi universitas di Indonesia. Mereka tertinggal jauh oleh akademisi luar negeri. Melbourne University, misalnya, yang telah memasukkan Candi Borobudur dalam bagian mata kuliah Social Practice

"Abad ke-7, leluhur kita bilang itu Arupadathu. Jadi Borobudur ini bukan milik BUMN, Kemenag, Kemenparekraf, atau otonomi lokal. Tidak. Ini milik dunia," jelasnya. Ada yang setuju penetapan harga tiket baru itu dengan alasan untuk melindungi bangunan candi. Seperti banyak foto beredar menunjukkan para pengunjung yang melanggar aturan. Misalnya, dengan menaiki stupa atau bahkan mencoret-coretnya.

Bagi Tanto, fenomena itu justru adalah cermin perilaku banyak orang dalam kehidupan bersama. Terutama orang-orang yang menempati posisi atas. Dari influencer hingga para pejabat. "Anak-anak yang memanjat stupa atau yang corat-coret itu kan mereka nyontoh yang di atas," katanya dengan nada ceplas-ceplos. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: