Travel Notes Kirana Kejora dari Bena Seri 3: Terbawa ke Masa Silam

Travel Notes Kirana Kejora dari Bena Seri 3: Terbawa ke Masa Silam

Makam leluhur orang Bena yang terbuat dari batu berbentuk vertikal dan runcing.--


Saya di depan rumah dengan seorang mama yang sebelumnya sedang santai menenun. Wajahnya sangat teduh menatap saya.--

”Yuk!” Sau mengajak jalan lagi setelah kami berpamitan. Saya berdiri. Keluar dari teras sambil menatap dari dekat bentuk rumah secara keseluruhan. Tampak bentuk atap rumah memang begitu unik dengan kuda-kuda yang tinggi dan atap kanopi melandai. 

Atap utama dari rumah Bena adalah menjulang sangat tinggi dengan atap rumbia. Gambaran rumah yang sehat. Sirkulasi udara di dalam ruang lebih dingin. Udara dapat berputar dengan baik dan penyerapan panas oleh rumbia akan mengubah suhu menjadi lebih rendah tentunya.

Sedang kanopi di depannya terbuat dari bambu yang dibelah dua. Susunannya tampak cerdas sekali. Arsitektur konvensional yang cukup rapi. Kanopi itu dikombinasikan setengah terbuka. 

Diselingi setengah tertutup yang menutupi pertemuan kedua bilah bamboo. Bisa dipastikan tidak akan ada air mengucur di celah bambu dan bebas bocor jika hujan datang mendera.

Bangunan rumah tidak menapak langsung ke tanah. Ada batu penyangga  sehingga kayu tidak mudah lembab atau lapuk karena kontak langsung dengan tanah yang memiliki kadar kelembaan cukup tinggi.

Setiap rumah tampak memiliki serangkaian tanduk kerbau. Filosofinya sama dengan rumah di Tana Toraja. Jumlah tanduk kerbau itu merupakan simbol jumlah kerbau yang sudah dikorbankan dari setiap rumah untuk upacara adat yang selama ini pernah mereka lakukan.

Sudah tradisi bila keluarga yang ditinggal mati salah satu anggotanya, digelarlah upacara potong kerbau untuk mengantar arwah.

Setiap suku di Bena mempunyai rumah keluarga inti (sa’o meze) nenek moyang perempuan disebut sa’o saka pu’u. Rumah ini ditandai dengan miniatur bhaga di atas atap. Masing-masing rumah tepi atapnya dipasang tusuk rambut, terbuat dari bambu dengan kelapa muda sebagai pangkalnya. Mereka menyebutnya ana ie. 

Sedangkan rumah inti nenek moyang laki-laki dinamakan sa’o saka lobo. Rumah ini dikenal dengan patung pria berbalut ijuk sambil memegang parang dan tombak. Patung ini tampak terpasang di atas rumah. Selain dua jenis rumah di atas, terdapat rumah pendukung yang disebut kaka pu’u, dhai pu’u, kaka lobo, dan dhai lobo. Rumah-rumah ini tidak mempunyai figur yang dipasang di atas atapnya.

Setiap rumah terdiri dari tiga bagian yakni lewu, sa’o dan iru. Lewu adalah kolong rumah panggung, dengan tiang kayu penunjang di atas tanah. Sa’o adalah bagian lantai rumah beserta dindingnya. Iru adalah bagian atap rumah yang terbuat dari alang-alang dan bambu.


Kampung Bena yang saya lihat dari atas bagian ujung. Di sinilah saya terpana tak habis-habis. --

Rumah bagi mereka, bukan sekadar tempat tinggal. Rumah merupakan simbol keberadaan mereka. Rumah sebagai tempat berkumpul, berkomunikasi, saling berinteraksi, bermusyawarah, bersantai dan menyelesaikan secara bersama-sama persoalan dalam kampung. Rumah adalah tempat segala nasihat dan pesan yang harus disampaikan kepada anak cucu. 

Area sa’o umumnya dibagi menjadi tiga bagian, yakni teda moa, teda one, dan one sa’o. Teda moa sebagai balai-balai luar, tempat yang digunakan dalam situasi yang lebih santai. Teda moa juga sebagai tempat perempuan menenun dan menjaga anak-anak. Teda one diperuntukkan pertemuan keluarga yang resmi, seperti menerima tamu. 

Bagian yang lebih dalam adalah one sa’o. Ada anak tangga kecil (tangi) untuk memasukinya. Pusat setiap rumah ini terdiri dari tujuh papan pada setiap sisi dindingnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: