Pembunuhan Pelacur, Polisi Konsisten Buru Pelaku

Pembunuhan Pelacur, Polisi Konsisten Buru Pelaku

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Pekerja seks, Adelia, 26, terima duit dari SS, 51, untuk layanan seks. Duit diterima, Adelia mengaku haid. Lantas, SS keluar kamar untuk mengambil pisau. Adelia dibunuh. Muncikari, Aisyah, 54, teriak, dibunuh juga.

KAPOLRES Sukabumi AKBP Dedy Darmawansyah kepada wartawan, Rabu (22/6), mengatakan, ”Tersangka SS kami tangkap tadi pagi. Karena melarikan diri saat ditangkap, kakinya kami lumpuhkan.”

Tersangka dipamerkan ke wartawan di Mapolres Sukabumi Rabu dengan kaki kanan terbalut perban. Itu setelah ia ditembak polisi.

Dipaparkan Dedy, Minggu malam, 19 Juni 2022, SS mendatangi Kafe Sinar Laut di Ujunggenteng, Sukabumi. Kafe itu di pinggir laut. Ada karaoke dan pekerja seks. SS mabuk didampingi Adelia.

SS lalu mengajak Adelia berhubungan seks, dengan memberikan uang sesuai tarif. Uang diterima Adelia. Lalu, mereka masuk kamar.

Dedy: ”Lalu, Adel beralasan sedang haid sehingga tidak mau melayani pelaku. Pelaku tersinggung karena sudah memberikan uang, tapi korban tidak mau melayani.”

SS keluar kamar, jalan menuju motornya, mengambil pisau dari jok motor. Balik lagi, langsung menusuk Adelia. Satu tusukan di punggung tembus dada. Adelia jatuh menggelepar di lantai. Saat itu Senin, 20 Juni 2022, pukul 01.00.

Pemilik kafe, Aisyah, mendadak muncul. Dia berteriak histeris saat melihat Adelia kelojotan bersimbah darah. Itu membuat SS panik. Hendak menusuk Aisyah, tapi pisau terlepas, jatuh, akibat licin berlumuran darah Adelia.

Kemudian, SS menyeret Aisyah keluar kafe, menuju pantai yang jaraknya sekitar 3 meter. Saat itu air laut sedang pasang.

Deddy: ”Tersangka mencelupkan kepala Aisyah ke air laut beberapa kali. Sampai tidak bernapas. Setelah memastikan korban meninggal dunia, pelaku melarikan diri.”

Tindak kekerasan terhadap pelacur sering terjadi. Di seluruh dunia. Masyarakat menganggap biasa karena korban kurang dihormati masyarakat.

Eric W. Hickey dalam bukunya, Serial Murderers and their Victims (2015) menyatakan, pelacur adalah pekerjaan paling berbahaya di dunia. Posisinya dipandang hina oleh masyarakat sehingga diperlakukan apa pun.

Hickey konsultan psikologi forensik di Walden University, Amerika Serikat (AS). Ia mengajar psikologi forensik di Brigham Young University, California.

Di bukunya, ia memaparkan, di AS hampir semua pembunuhan berantai dilakukan terhadap pelacur. Dan, masyarakat kurang peduli. Sebab, korban adalah orang yang dipandang hina oleh masyarakat.

Disebutkan, itu dimulai di Inggris pada 1888 oleh pembunuh berantai yang tak terungkap, yang dijuluki Jack the Ripper. Pelaku membunhi para pelacur di kawasan miskin (waktu itu) sekitar Distrik Whitechapel, London, Inggris.

Segera setelahnya, pembunuhan berantai terhadap pelacur dilakukan pembunuh AS. Seperti halnya di Inggris, warga AS juga kurang peduli pada korban.

Terbaru, Long Island Serrial Killer (disebut LISK, disebut juga Gilgo Beach Killer, atau Craigslist Ripper). Adalah pembunuhan berantai yang tak terungkap selama dua dekade di AS, sampai dengan September 2010.

Korban pembunuhan LISK 10 sampai 16 pelacur selama hampir 20 tahun. Pelaku biasa membuang mayat korban di daerah-daerah di pesisir selatan Long Island.

Polisi AS sampai tidak tahu pasti jumlah korban. Sebab, pelacur di sana tidak dicari keluarga jika hilang karena malu. Dengan budaya itulah pelaku menyasar pelacur.

Buku Hickey menyebutkan, salah satu alasan pembunuh berantai menargetkan pelacur ialah pelaku yakin bahwa polisi (AS) tidak akan mencari pelacur yang hilang. Polisi tidak akan susah payah seperti mencari korban yang lebih terhormat.

Hickey menyatakan, sikap antipati polisi terhadap pelacur makin merusak jalur komunikasi. Sebab, pelacuran adalah ilegal (di sebagian besar negara bagian di AS).

Juga, pelacur jauh lebih kecil kemungkinannya dibanding populasi umum, untuk melaporkan viktimisasi diri mereka dan rekan-rekan mereka ke polisi. Karena mereka tahu, polisi tidak menyukai mereka.

Hickey: ”Polisi biasanya tidak menyukai pelacur karena cenderung ada jenis kejahatan lain yang terjadi ketika ada prostitusi di daerah itu. Jadi, semacam menambah sulit tugas polisi.”

Juga, polisi terpengaruh sikap masyarakat yang merendahkan status sosial pelacur. Dengan begitu, pembunuhnya tidak dicari pun dianggap tidak ada masalah.

Polisi baru bergerak jika ada laporan tiga atau empat pelacur hilang dari lokasi kebiasaannya. Pelapor bukan keluarga orang yang hilang, melainkan teman-teman sesama pelacur. ”Saat laporan lebih dari tiga orang pelacur hilang, polisi baru bergerak.”

Jadi, ketidakhormatan sosial korban menjadikan mereka target tindak kekerasan dan pembunuhan. Kasihan, korban akibat posisi sosial yang rendah.

Dikutip dari A&ETV.com, 17 Agustus 2021, bertajuk Why Are Sex Workers Often a Serial Killer's Victim of Choice?, ada wawancara dengan pembunuh berantai pelacur. Nama pelakunya Robert Hansen. IA mengatakan:

”Saya pikir, pelacur itu jahat. Jadi, boleh saja mereka kita perlakukan apa saja.”

Di Indonesia, meski pelacuran antara legal dan ilegal, tapi tidak seekstrem AS. Disebut legal, sebab pelacuran ada, dan pelacurnya bukan pelanggar hukum. Disebut ilegal, sebab beberapa lokalisasi pelacuran digusur, dan pelacur online ditangkap polisi.

Namun, sikap polisi pada pembunuhan terhadap pelacur tetap sesuai dengan penegak kamtibmas. Pelaku tetap diburu. Ke mana-mana. Sampai ketemu.

Contoh, tersangka SS. Saat ditangkap polisi, ia malah berusaha kabur. Ya.... kakinya didor. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: