Antara Penegakan Hukum dan Tekanan Massa

Antara Penegakan Hukum dan Tekanan Massa

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

SELAMAT Hari Bhayangkara yang ke-76. Momentum ulang tahun rasanya saat yang tepat untuk becermin. Introspeksi dan mencoba berbenah. Masih banyak yang harus diubah. Citra polisi yang kadung dicibir dan dipandang sinis oleh sebagian pihak menjadi tantangan.

Tapi, memang nyatanya demikian. Masih ada hal yang mencoba ditutupi atau dilemahkan dalam penegakan hukum. Tumpul ke dalam dan tajam ke luar rasanya masih dilakukan kepolisian. Kendati secara sembunyi-sembunyi.

Kasus AKBP Brotoseno yang menjadi sosotan beberapa waktu belakangan ini salah satunya. Bagaimana mungkin, seseorang yang sudah divonis bersalah dan menjalani hukuman lima tahun penjara masih bisa berdinas. Padahal, perwira menengah itu terbukti melakukan pemerasan dalam penyidikan korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar), pada 2016.

Brotoseno memang tidak ditugaskan di pucuk komando. Pangkatnya sudah setingkat dengan kapolres atau kapolresta. Brotoseno tetap menjadi abdi Bhayangkara kendati bertugas di dalam. Tidak pernah merasakan garis merah di tanda kepangkatan sebagai simbol komandan (kepala).

Memang secara hukum, pemecatan anggota kepolisian berdasar pada sidang kode etik. Entah apa yang menjadi pertimbangan saat itu, putusan sidang kode etik untuk Brotoseno tidak sampai pada pemecatan.

Namun, setelah hal tersebut bocor dan menjadi pergunjingan, putusan sidang kode etik tersebut ditinjau ulang. Pemeriksaan ulang sedang dilakukan. Tapi, saya sendiri menduga, hasilnya akan memberikan putusan: Brotoseno akan dipecat.

Pertimbangannya sederhana. Seharusnya, peninjauan ulang suatu perkara itu dilakukan atas dasar bukti baru (novum). Nyatanya, tanpa novum, kasus Brotoseno akan ditinjau ulang. Sederhana. Hilang satu nyawa demi sebuah kehormatan.

Itu sama dengan apa yang dilakukan kepolisian saat mengamankan Murtede alias Amag Sinta, 34, petani asal Dusun Matek Maling, Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, April lalu. Amag ditetapkan sebagai tersangka karena membunuh dua begal yang hendak merampas motornya.

Polisi memang seharusnya mengamankan Amag. Sebab, ia memang sudah membunuh dua begal yang hendak merampas motornya. Keputusan apakah yang dilakukan Amag adalah sebuah kejahatan atau upaya membela diri harus dibuktikan di pengadilan.

Hakimlah yang berhak menentukan apakah yang dilakukan Amag termasuk upaya membela diri. Pun demikian, atas desakan massa dengan menyoroti kasus ini, polisi melonggarkan diri. Menyelesaikan penyidikan dengan tersangka Amag.

Padahal, seharusnya, penyidikan terus dilakukan kendati tanpa dilakukan penahanan. Penahanan adalah kewenangan penyidik. Sah bila tidak dilakukan penahanan dengan pertimbangan tertentu. Apa pun itu. Terlebih bila bukti awal sudah mengarah pada kesimpulan Amag mempertahankan diri dari serangan dua begal itu.

Warga internet rasanya sudah mengambil peran kesimpulan hukum. Adil atau tidak adil. Benar atau tidak benar. Pada kasus Brotoseno, warganet benar karena memang keputusan hukum kurang tepat untuk kasus tersebut. Namun, pada kasus Amag, warganet salah bila harus memaksakan kehendak: Amag harus bebas.

Toh, nyatanya, dalam dua kasus tersebut, kepolisian mengalah. Mengikuti keinginan warganet. Tagar no viral no justice (tidak viral tidak akan dapat keadilan) sempat menjadi acuan. Tagar itu berbarengan dengan tagar percuma lapor polisi. Sebagian menjadikannya hal itu sebagai bukti kepercayaan kepada polisi sudah nyaris menyentuh titik nadir.

Apakah polisi diam? Jelas tidak. Mereka sedang berupaya memperbaiki diri. Jumlah personel yang tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang harus dilayani bukan halangan. Justru menjadi tantangan.

Beberapa langkah humanis juga mati-matian dilakukan kepolisian. Dari tingkat tertinggi hingga terendah. Kapolri sampai merasa perlu menjenguk langsung Sinta Aulia Maulida, penderita tumor kaki.

Video Sinta yang ingin mendapat perhatian dari pucuk pimpinan kepolisian itu memang viral sebelumnya. Kapolri tidak ada kaitannya dengan penderitaan bocah malang tersebut. Tapi, kebaikan memang tidak perlu batasan. Menurut saya, sampai segitunya kepolisian membangun kedekatan dengan masyarakat untuk mengimbangi ulah-ulah nakal anggotanya. Dalam organisasi yang sangat besar, ulah oknum tetap ada. Tetap mewarnai karena memang nila setitik bisa merusak susu sebelanga.

Saya ingat diskusi dengan beberapa teman tentang karakteristik polisi yang unik. Saya katakan, di dunia fantasi pun, polisi belum ada superheronya.

Batman adalah superhero dari pengusaha (crazy rich), Superman dan Spider-Man dari jurnalis. Hulk dari kalangan ilmuwan. Daredevil dari kelompok pengacara dan Iron Man kombinasi ilmuwan sekaligus pengusaha.

Mereka semua bisa menjalani dua kehidupan yang berbeda. Bruce Wayne di satu sisi dan Batman di sisi lainnya. Clark Kent dan Superman, Peter Parker dan Spider-Man, Matt Murdock atau biasa dipanggil Matthew dan Daredevil, atau Bruce Banner dan Hulk.

Ada sebenarnya superhero yang mewakili sosok kepolisian. Namanya Robocop, andalan Kota Detroit. Robocop sebenarnya adalah perwujudan baru dari Alex J. Murphy.

Sayangnya, superhero ini tidak menjalani dua kehidupan, yaitu sebagai manusia dan superhero. Robocop diciptakan setelah Alex J. Murphy dinyatakan mati dan hanya berfungsi organ otaknya. Tapi, itu hanya film. Fantasi orang-orang yang merindukan keadilan yang seadil-adilnya.

Polisi sebagai salah satu pilar penegak hukum tentu harus patuh tunduk dengan aturan hukum. Salah satunya adalah fiat justitia ruat caelum (hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh).

Jangan jengah berubah lebih baik. Tetap siangi gulma di tubuhmu. Tetap pangkas benalu di badanmu. Karena kami merindukan polisi seperti sosok Hoegeng.

Selamat Hari Bhayangkara yang ke-76. (*)

Sumber: