Citayam Fashion Week
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
SUDIRMAN Central Business District (SCBD) adalah kawasan segitiga emas paling mahal dan paling bergengsi di Jakarta. Di situlah puncak ekspresi modernitas yang ditandai dengan gedung-gedung pencakar langit dengan desain yang seragam. Di situlah transaksi bisnis besar berputar setiap hari. Di situlah pusat budaya global diekspresikan.
Beberapa bulan terakhir, fenomena SCBD berubah. Tidak lagi sebagai sentra bisnis yang elitis, tetapi berubah menjadi sentra anak-anak generasi milenial untuk berkumpul dan mengekspresikan diri.
SCBD bukan lagi Sudirman Central Business District, melainkan ”Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok” untuk menggambarkan daerah-daerah pinggiran yang selama ini dianggap periferal dan marginal.
Anak-anak berusia belasan tahun bergaya dengan dandanan yang mencolok memenuhi kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta. Area depan pintu keluar masuk Stasiun Kereta Api Komuter Dukuh Atas hingga terowongan Kendal menjadi ajang catwalk terbuka bagi ABG itu untuk mengeskpresikan diri dan gaya.
Anak-anak baru gede (ABG) itu tidak cuma pamer gaya berpakaian. Banyak juga yang mencari perhatian dengan pamer keterampilan olahraga seperti permainan skateboard dan seni tari breakdance. Pameran aneka macam model pakaian itu kemudian disebut sebagai ”Citayam Fashion Week”, sebuah sebutan bernada peyoratif yang mengejek, tetapi malah menjadi brand yang marketable.
Ada juga yang menyebutnya sebagai Citayam Wave atau Citayam Fashion Show. Dari ajang pameran itu pun muncul nama-nama yang menjadi ikon baru seperti Bone, Kurma, Roy, dan Jeje. Mereka menjadi bintang catwalk jalanan sekaligus menjadi selebritas dadakan yang populer di TikTok dan platform-platform lain.
Ada yang merasa gerah dengan fenomena itu karena menganggapnya mencemari elitisme Jalan Sudirman. Mereka mengokupasi jalan dan meninggalkan sampah. Ada yang merokok walau usianya masih belia.
Namun, Anies Baswedan sebagai penguasa Jakarta berpikir positif dan menganggap bahwa fenomena itu sebagai bukti bahwa Jakarta menjadi milik semua orang. Jakarta sangat inklusif, Jakarta sangat terbuka dan menghargai serta toleran terhadap kreativitas anak muda pinggiran, senyampang mereka mematuhi ketertiban dan menjaga kebersihan lingkungan.
Anies meminta masyarakat menghargai eksistensi mereka karena ruang publik adalah milik bersama. Anies melihat fenomena tersebut sebagai wujud terjadinya demokratisasi di kawasan Sudirman. Sudirman tidak hanya milik pekerja kantoran, tetapi juga milik masyarakat ekonomi kelas bawah.
Era digital membongkar semua yang awalnya menjadi kemapanan –dan menjadi privilese kelas tetentu– menjadi terakses oleh setiap orang. Paris Fashion Week, London Fashion Week, menjadi ikon budaya modern yang menjadi bagian dari budaya avant-garde yang hanya dimiliki dan ditonton sekalangan elite terbatas. Tapi, era digital menggugurkan elitisme itu.
Para selebritas Indonesia mencari identitas dengan beramai-ramai datang ke Paris Fashion Week. Mereka hanya jalan-jalan saja di sekitar lokasi dan kemudian mengunggah aktivitasnya di media sosial. Dengan begitu, mereka merasa bangga karena bisa menjadi bagian dari budaya fashion global.
Apa yang mereka cari kalau bukan ingin viral? Aku klik, maka aku ada. Eksistensi manusia tidak lagi ditentukan oleh pikirannya. Rene Descartes mengatakan, ”Aku berpikir, karena itu aku ada”, Cogito ergo sum, I think therefore I am. Konsepsi mengenai eksistensi manusia itu sekarang sudah berubah. Manusia eksis bukan karena dia berpikir, tetapi karena dia ”klik” di media sosial.
Dunia modern menerapkan standarnya sendiri, kemudian memaksa seluruh dunia untuk mengikutinya. Prinsip universalitas menjadi norma yang harus diikuti di seluruh dunia. Standar kecantikan pun ditentukan Eropa. Untuk disebut cantik, seseorang harus berbodi ”kutilang darat” (kurus tinggi langsing dada rata), mirip tiang listrik. Kulit harus putih dan rambut harus pirang plus mata biru.
Barat menjadi kiblat dunia dan ingin mendominasi dunia dalam segala aspek kehidupan. Nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dirumuskan di Barat dan disebarkan ke seluruh dunia untuk diadopsi tanpa ada modifikasi. Hak asasi manusia dianggap mempunyai nilai universal yang harus diterapkan di mana pun.
Demokrasi liberal dan hak-hak asasi manusia juga harus diterapkan di seluruh dunia karena paling sesuai dengan kodrat kemanusiaan.
Modernitas dipaksakan ke seluruh dunia dengan ciri konformitas yang tunggal dan sergam. Budaya pop menjadi acuan budaya dunia yang berciri keseragaman yang merata. Fast food dan minuman ringan menjadi mode dan tren di seluruh dunia. Tidak ada ruang untuk berbeda.
Teknologi digital melahirkan fenomena baru. Ruang publik terbuka lebih lebar untuk berekspresi dan bereksistensi. Anak-anak muda dari generasi SCBD itu menjadikan Citayam Fashion Show sebagai ajang untuk unjuk diri dan menegaskan identitas serta standar mode mereka sendiri.
Siapa pun boleh menyinyir dengan menyebut mereka katrok maupun norak. Tetapi, mereka sudah terbukti sukses melakukan dekonstruksi, pembongkaran, terhadap dominasi kalangan elite yang merasa menjadi pemimpin fashion dunia. Modernisme mendikte orang menjadi seragam, sekarang era post-modernisme muncul ketika semua orang bebas mengekspresikan gaya dan eksistensinya.
Anak-anak SCBD itu bagian dari generasi post-modern yang berhasil menunjukkan budaya tandingan (counter culture) melawan budaya elitis yang hanya dikuasai segelintir orang elite.
Bone, Kurma, Roy, dan Jeje muncul sebagai ikon baru yang tidak kalah mentereng dengan ikon-ikon elite lainnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: