Citayam Fashion Week, Unjuk Diri atau Kreativitas?
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
FENOMENA fashion week anak-anak Citayam di Dukuh Atas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, menarik perhatian. Inilah invansi atau bahkan okupasi anak muda pinggiran ke ibu kota. Menunjukkan eksistensi diri dan menggugah banyak pihak.
Fenomena itu langsung ditiru di beberapa kota. Karena kelatahan atau sekadar menumpang peristiwa viral untuk mendapatkan perhatian publik. Mulai Banyumas, Madiun, sampai anak-anak muda di Surabaya.
Di kota kita, mereka ikut-ikutan menggelar fashion week di Jalan Tunjungan. Kawasan hangout legendaris yang kembali mencuat popularitasnya. Dulu terkenal lewat lagu Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan, kini populer karena penataan jalur pedestriannya.
Terima kasih, Pak Wali Kota Eri Cahyadi yang telah menghidupkan kembali Jalan Tunjungan. Lewat Romansa Tunjungan dan fasilitas arsitektur kota yang menyenangkan untuk jalan-jalan maupun nongkrong di caffee shop yang mulai bertebaran di kawasan itu.
Tapi, haruskah kita meniru fenomena atau tren yang terjadi di ibu kota Jakarta? Bukankah Surabaya bisa membuat tren sendiri seperti banyak tren diciptakan di masa lalu? Atau memang tren yang dicipta anak Citayam, Bojonggede, dan Bekasi menjadi tren yang sulit ditandingi dengan yang baru?
Kembali ke Citayam Fashion Week. Fenomena itu tentu bukan by design. Lebih sebagai fenomena sosiologis. Fenomena bagaimana sekelompok anak muda pinggiran kota yang menginvasi atau mengokupasi fasilitas publik di ibu kota.
Fenomena itu bisa dijelaskan dengan bermacam cara. Diduga karena akses transportasi publik di sekitar ibu kota yang makin baik sehingga memudahkan mobilitas siapa saja. Bagusnya transportasi publik itu diikuti dengan buruk dan minimnya fasilitas publik di kota pinggiran.
Atau ini cara baru kelas menengah bawah dalam merespons perubahan. Perubahan yang makin kencang akibat revolusi digital. Menjadikan berbagai lapis masyarakat makin gampang mengakses budaya kelas di atasnya. Yang seperti itu selalu terjadi dalam setiap perubahan sosial.
Begitu ada tokoh yang menggerakkan, sebuah kreativitas akan selalu menjadi fenomena. Apalagi yang memenuhi kebutuhan dari kelompok atau kelas sosial. Perubahan tidak selalu dari kelompok yang telah diuntungkan. Tapi, bisa dari mereka yang dipinggirkan.
Inilah komunitas anak pinggiran kota Jakarta yang terbentuk melalui ketokohan Jeje, Bonge, Kurma, dan Roy. Mereka adalah para seleb TikTok. Para remaja alias anak baru gede (ABG) yang datang bisa unjuk outfit yang beragam. Menjadikan jalur pedestrian dan zebra cross sebagai catwalk-nya.
Media sosial membantu mempercepat tren yang mereka ciptakan. Komunitas itu menjadi cepat terkenal. Dengan media sosial, mereka tidak perlu melewati seleksi kelas untuk menjadi tren baru. Berbeda ketika belum ada media sosial. Masih harus melalui filter budaya dari pemilik media.
Seleksi nilai-nilai ada pada komunitas itu sendiri. Bukan oleh kelompok kelas sosial lain. Baru setelah tren yang diciptakan dianggap menabrak nilai-nilai umum, biasanya benturan akan terjadi. Misalnya, benturan antara kepentingan komunitas dan kepentingan publik.
Menarik untuk diikuti bagaimana dialektika antara komunitas Citayam Fashion Week dan kepentingan publik ini. Apalagi, dalam perkembangannya, diikuti oleh upaya invasi kelas sosial yang lebih tinggi. Apalagi, ketika artis dan politisi yang menganggap tren itu bisa dianggap sebagai tren yang bisa ditumpangi. Juga, kelas kapitalis yang ingin menghaki tren genuine dari kelas pinggiran itu.
Apa pun hasil akhirnya, setiap kelas sosial pasti akan punya cara sendiri dalam merespons setiap perubahan. Kreativitas tidak pernah ada batasan ruang dan waktu. Ketika mereka tak mampu menembus venue untuk kegiatan fashion yang glamor, jalan pun jadi. Inilah kreativitas tanpa batas.
Fenomena Citayam Fashion Week seharusnya juga menggugah kesadaran baru dalam penyediaan fasilitas bagi berbagai kelas sosial. Tentu bukan dengan pendekatan yang formalistis dan birokratis seperti selama ini. Fasilitas publik yang memungkinkan berbagai ide kreatif diunjukkan ke publik.
Terkadang memang perlu energi ekstra untuk memberikan akses kepada kelompok pinggiran. Namun, itu bukan sesuatu yang mustahil. Di Surabaya, kelompok ludruk tobong bisa pentas bulanan dengan mewah di kantor-kantor kecamatan. Bahkan, dengan dukungan sponsor swasta.
Memang tidak semua kebutuhan ekspresi kelas sosial harus difasilitasi pemerintah. Ada segmen yang tidak perlu fasilitas karena sudah mandiri dan menjadi komoditas. Fasilitas hanya patut diberikan kepada mereka yang kelas sosialnya masih perlu mobilitas ke atas.
Surabaya punya venue yang bisa menampung banyak kegiatan seperti di plaza Balai Pemuda. Barangkali jika venue itu dioptimalkan dengan sedikit lentur dan tanpa birokrasi yang njelimat, bisa menjadi lahan unjuk kreativitas dan identitas remaja dan ABG kita.
Tentu tidak harus menjiplak tren Citayam Fashion Week. Tentu dengan kegiatan yang lebih Suroboyo. Yang lebih egaliter dan terbuka. Yang menggetarkan dengan tanpa memindahkan kegiatan di Jalan Sudirman, Jakarta, ke Surabaya.
Poin terakhir itu sangat penting. Tujuannya, arek-arek Suroboyo tidak dianggap latah. Atau sekadar follower bagi tren yang muncul di Jakarta. Arek-arek Suroboyo perlu mampu menciptakan tren sendiri. Sebagai ajang naik kelas maupun sekadar unjuk diri. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: