Takeyama Kenichi, Konjen Jepang di Surabaya yang Hobi Naik Gunung (2)
Takeyama Kenichi saat berada di Pasar Bubrah, Gunung Merapi November 2017-TAKEYAMA KENICHI UNTUK HARIAN DISWAY-
Gunung Merbabu menjadi titik awal petualangan Takeyama Kenichi menjajaki gunung-gunung di Indonesia. Panorama dari puncak Kenteng Songo itu membuatnya jatuh cinta untuk kali kedua. Lalu bertekad mendaki semua puncak gunung di Indonesia.
RUANG kerja Takeyama di Konsulat Jenderal Jepang Surabaya di Jalan Sumatera terang meski tanpa lampu. Tirai dua jendela yang berada di sisi yang berbeda dibuka. Sehingga penerangan ruangan langsung dari sinar matahari yang masuk.
Setelah kami dipersilakan duduk, Takeyama Kenichi melanjutkan ceritanya. Duduk sigap didampingi Tsumura Moe. Obrolan sempat disela oleh salah seorang staf yang baru datang. Staf itu masuk membawa tiga cangkir dengan baki.
Meletakkannya di meja tamu. Dua cangkir untuk tim Harian Disway dan satu cangkir untuk Takeyama. Cangkir putih itu bermotif kembang. Tanpa gagang. Lepek (alas)-nya hitam polos.
Isinya air hijau yang tentu saja bukan sirup. Melainkan teh hijau khas Jepang atau biasa disebut matcha. Ya, itu seperti tradisi Chanoyu alias cara orang Jepang menyambut tamunya saat menjadi tuan rumah.
Namun, teh hijau yang hangat itu tak langsung kami seruput. Kami biarkan cukup lama. Kami lebih larut menyimak kisah Takeyama. “Setelah turun dari Merbabu, saya langsung minta antar tour guide ke Merapi,” lanjutnya yang makin membuat kami kaget.
Sebab, pendakian ke puncak Kenteng Songo, Merbabu, dengan ketinggian 3.142 mdpl tentu sangat menguras tenaga. Eh, Takeyama malah lanjut maraton ke Gunung Merapi.
Ia jatuh hati lagi. Di puncak Kenteng Songo, ia berbinar-binar memandang kemegahan Merapi yang berdiri di sisi selatan.
Jarak kedua gunung itu memang dekat. Secara administratif, Merbabu masuk wilayah Kabupaten Magelang dan Merapi masuk wilayah Sleman, Yogyakarta. Kedekatan itulah yang bikin Takeyama kepincut.
Keputusan yang spontan. Tak direncanakan sejak keberangkatan. Meski, secara diam-diam hatinya sudah terpaut ke Merapi.
Tepat sejak Takeyama belajar Bahasa Indonesia tingkat lanjut di UGM pada 1988 silam. Ia ingin mendaki ke gunung yang sudah meletus 68 kali itu. “Sudah lama sekali ingin ke Merapi. Tapi, dulu tidak sempat,” jelasnya.
Begitu turun dari Merbabu, permintaan itu pun mengejutkan si tour guide. Bahkan sempat diragukan. Tapi, apa boleh buat. Tekad Takeyama kadung bulat untuk menuntaskan impian lamanya.
Berangkatlah mereka via jalur pendakian Selo. Takeyama masih mengenakan pakaian yang sama seperti yang ia pakai mendaki ke Merbabu. Celana outdoor krem, jaket hitam, sepatu track, dan tas pinggang.
Sementara peralatan lain seperti tenda dan logistik dibopong si tour guide dengan carrier. Pendakian dilakukan sejak pagi. Dan tiba di Pasar Bubrah alias pos terakhir sebelum menuju puncak.
BACA JUGA: Langsung Jatuh Hati dengan Gunung Indonesia
Pasar Bubrah cukup luas. Tanahnya padat berpasir tandus dengan bebatuan berserakan. Berada di ketinggian 2.600 mdpl. Gunung Merbabu tampak jelas dari titik ini.
Artinya, tinggal 330 meter lagi sudah sampai puncak. Pasar Bubrah itulah batas vegetasi persis di kaki Merapi. “Saya tidak diizinkan lanjut ke puncak oleh tour guide,” ujar lelaki kelahiran Desa Gifu, Prefecture, Jepang itu.
Si tour guide lebih mengutamakan keselamatan dan keamanan. Lantaran mengingat fisik Takeyama yang cukup berumur.
Meski, Takeyama merasa masih bertenaga, tapi ia lebih memilih untuk menuruti si tour guide. Ia lebih memilih sikap bijaksana dengan tanpa memaksakan keinginan pribadi. “Saya selalu menuruti karena bagaimanapun tour guide ini orang lokal,” tandasnya.
Akhirnya, Takeyama pun cukup puas. Ia berpose foto di plakat kayu legendaris bertulisan merah: Pasar Bubrah. Sambil memandang puncak Merapi yang persis di ujung mata itu.
Pendakian Merapi memberi pelajaran khusus bagi lelaki humoris itu. Sekaligus juga semangat baru. Tentu untuk mendaki lebih banyak gunung lagi di Indonesia.
Maka keinginan itu selalu ada jalan. Berjodoh dengan bulan akhir 2017. Pertama, momen libur natal pada 25 Desember. Takeyama justru memilih petualangan yang lebih jauh lagi.
Takeyama Kenichi di puncak Merbabu.--
Ia terbang ke Sabah, Malaysia. Dan seorang diri. Mendaki Gunung Kinabalu yang berada di ketinggian 4.095 mdpl. Jauh lebih tinggi dari Merbabu dan Merapi. Tak ada cerita istimewa di sana.
Yang seru, terjadi pada 31 Desember 2017. Ia merayakan malam tahun baru di puncak Gunung Slamet, Jawa Tengah. “Saya bawa gambar ilustrasi pergantian tahun,” katanya sambil menunjukkan foto di layar HP.
Bahkan, pendakian Gunung Slamet itu memberi pengalaman baru baginya. Saat turun dari puncak, ia menjumpai satu grup pendaki sedang ricuh. Lantaran salah seorang teman perempuan mereka yang menjerit-jerit histeris.
“Ternyata itu yang namanya kesurupan. Saya baru tahu. Di Jepang tidak ada seperti itu,” lanjutnya dengan raut wajah yang tegang. Takeyama pun dipandu oleh si tour guide untuk langsung melanjutkan perjalanan.
Dari situ, ia juga meyakini satu hal. Bahwa di gunung selalu ada tradisi yang berlaku. Entah pantangan atau anjuran yang diamini oleh masyarakat. “Saya selalu ikut aturan apa pun yang berlaku di lokal. Harus dihormati juga,” katanya. (Mohamad Nur Khotib)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: