Siklus Bisnis di Era Vuca

Siklus Bisnis di Era Vuca

--

Fluktuasi ekonomi menjadi salah satu perhatian utama bagi ekonom dan pembuat kebijakan. Fluktuasi output jangka pendek sebagai siklus bisnis itu terdiri dari empat fase; ekspansi, puncak, kontraksi, dan palung. Kebijakan-kebijakan apa yang diterapkan untuk mengatasi fase kontraksi ataupun krisis ekonomi tersebut?

Perubahan yang masif dalam berbagai aspek kehidupan menciptakan dinamika dan perubahan yang jauh lebih cepat dan beragam dibandingkan apa yang sudah dihadapi selama ini.

Akselerasi gelombang perubahan tersebut pada akhirnya membuat semua pihak baik di dunia bisnis, pemerintah, maupun masyarakat menghadapi fenomena volatility, uncertainty, complexity, ambiguity (VUCA). Konsep ini pertama kali diterapkan pada militer Amerika Serikat yang selanjutnya diadaptasi dunia bisnis oleh Nathan & Benneth (2014) dalam Harvard Business Review.

Volatility (volatilitas) merujuk pada istilah statistik yang menggambarkan tingkat ketidakpastian ukuran perubahan. Dalam teori Matematika Ekonomi standar seperti Hoy et al. (2001), sistem yang kompleks dengan dua atau tiga ekulibrium mungkin dapat dengan mudah diinterpretasikan.

Namun saat sistem tergambarkan dengan chaos, pola ini lebih sulit diidentifikasi. Terlebih lagi, saat volatilitas siklus bisnis menjadi lebih sering terjadi ketimbang beberapa tahun yang lalu yang hanya dapat terjadi dalam dua hingga sepuluh tahun. 

Salah satu contoh dari volatility di era VUCA adalah saat Federal Reserve Amerika Serikat melakukan penghentian kebijakan Quantitative Easing (QE) pada tahun 2013, sehingga memicu larinya modal dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Pada 2010 hingga 2012, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto, ekspor, dan konsumsi domestik Indonesia mampu menopang pertumbuhan ekonomi hingga lebih dari 6 persen. Namun penghentian QE membuat defisit transaksi berjalan meningkat dari 2,2 perseb pada 2012 menjadi 4,4 persen dari total GDP pada pertengahan 2013.

Beberapa bulan setelahnya Indonesia kembali menjadi negara ”kesayangan” para investor. Ini menunjukkan bahwa aliran modal di Indonesia sangat volatile atau berubah-ubah. 

Uncertainty (ketidakpastian) adalah sebagai kelanjutan adanya kondisi yang volatile. Jika kita merujuk kembali pada referensi tentang model ekonomi dengan regresi statistik, banyak para ekonom yang mampu memprediksi masa depan. Di era saat ini, prediksi dengan menggunakan pemodelan ekonomi akan semakin sulit dilakukan jika hanya mengandalkan distribusi probabilitas.

Dengan kata lain uncertainty membuat ketidakjelasan dalam mengevaluasi dan mengidentifikasi situasi dengan benar sehingga berpotensi meningkatkan kerugian yang lebih besar. Contoh nyata itu pandemi Covid-19 sebelum vaksin ditemukan atau pada 2020.

Ketidakpastian ekonomi meningkat. Terlebih lagi saat terjadi banyak pemutusan kerja oleh banyak perusahaan sehingga meningkatkan pengangguran. 

Selama vaksin belum dihasilkan, gelombang pesimisme yang tercermin dalam volatilitas indeks kepercayaan konsumen dan indeks kepercayaan bisnis (yaitu meningkatnya ketidakpastian ekspektasi konsumen dan bisnis) dapat menyebabkan penurunan konsumsi masyarakat dalam rangka penghematan.

Bahkan uncertainty masih terjadi saat virus Covid-19 bermutasi sehingga mengurangi keampuhan vaksin yang dihasilkan. Dampaknya, ekonomi Indonesia belum dapat dikatakan certain hingga pertengahan 2021.

Selanjutnya adalah complexity (kompleksitas) yang terjadi sebagai konsekuensi dari semakin pesatnya arus globalisasi yang berakibat pada lingkungan yang saling terhubung dan berjejaring. Dampaknya adalah semakin sulit dalam mengidentifikasi hubungan sebab akibat di antara interaksi ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: