Bahaya Memberi Hukuman Silent Treatment ke Pasangan, Teman, atau Keluarga

Bahaya Memberi Hukuman Silent Treatment ke Pasangan, Teman, atau Keluarga

Nur Annisa mahasiswa filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya-Nuril-

Ada yang punya kebiasaanmendiamkan pasangan, teman, atau keluarga saat terjadi percekcokan? Tidak bicara sampai berhari-hari. Bertemu pun tidak bertegur sapa.

Stop membiasakan silent treatment. Ketahuilah, kebiasaan itu bisa menghilangkan keintiman hingga merusak mental korban silent treatment.

Jalan keluar sebuah masalah harus dicari dengan komunikasi. Kebiasaan mendiamkan pasangan itu bisa jadi awal dari sebuah hubungan yang toxic

Silent treatment adalah perilaku dimana salah satu pasangan atau individu dalam suatu hubungan mengabaikan yang lain dan benar-benar memutus kontak melalui segala bentuk komunikasi 

Niat awalnya mungkin untuk menghindari ucapan-ucapan kasar yang bisa menyakiti perasaan. Ada yang sengaja begitu untuk memegang kendali atas sebuah komunikasi. 

Atau ada juga yang ingin menghukum pasangannya dengan “mengunci mulut”. Bisa jadi rasa sakitnya lebih berat ketimbang cidera fisik.


Ilustrasi silent treatment.-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Orang bijak bilang begini: setajam-tajam pisau, masih lebih tajam lidah. 

Kayaknya ungkapan itu betul. Lidah yang diibaratkan pisau itu bisa melukai, bahkan saat tidak digunakan. 

Dalam penelitian Young tahun 2020, silent treatment akan menyerang interior silent korteks: Bagian otak yang mendeteksi nyeri fisik. 

Dalam penelitian itu, korban silent treatment merasakan nyeri dibagian leher dan dada. Kok bisa? Otot orang yang diserang secara psikis akan tegang. Tanpa disadari nyeri akan muncul.

“Solusinya piye (bagaimana)?,” tanya seorang teman.

Pertama crosscheck gaya komunikasi. Apakah selama ini anda termasuk orang yang suka menghindari masalah? Menghindar ketika ada yang mengganjal di hati? 

Kalau iya, perilaku silent treatment ini mudah sekali hinggap.

Untuk bisa terhindar dari pelaku silent treatment, kita harus melatih diri kita untuk bisa berkomunikasi secara asertif sehingga kita bisa menjadi pribadi yang mau berkolaborasi.

Perlu kompromi lebih tinggi terhadap orang lain. Sebab manusia tempatnya salah. Tak mungkin bisa selalu ideal.

Silent treatment bisa menjadi boomerang. Kebiasaan itu bisa menyebabkan kita tumbuh dengan kemampuan conflict management yang rendah sehingga memiliki defense mechanisms yang tinggi. 

Cenderung denial saat ada masalah, cenderung tidak bisa kerja sama dengan tim kerja, bahkan kehilangan momentum pada berbagai hal baik.

Apa sih yang harus kita lakukan? supaya tidak dihantui perasaan bersalah yang emosional yang cukup sulit untuk memahami orang lain.

Pertama, self disclosure; membuka atau mengungkapkan diri. Dalam artian, sebenarnya apa yang membuat kita sulit untuk memaafkan orang ini? 

Kalau misal kita sendiri terus menerus menyalahkan diri sendiri sampai kita menghukum diri kita untuk tidak mau bertemu orang lain/berkomunikasi dengan orang yang memberikan kita silent treatment jangan sampai perilaku silent treatment memunculkan konflik baru.

Jika kita diposisi seperti itu belajarlah melatih asertivitas dengan cara “ditulis, hal apa yang mau diomongin ke orang yang bersangkutan, lalu bayangkan anda di posisi orang tersebut”

Selama ini mungkin kita menghindar, tetapi roda berputar, kita makhluk sosial yang tentunya bakal butuh orang tersebut.

Jadi silent treatment ini mungkin impulsif kita yang merasa nyaman, tenang, aman padahal di posisi saat itu kita sedang berperang melawan ego kita masing- masing.

Untuk semua yang memberikan sikap silent treatment kepada teman, pasangan, keluarga coba bicara hati ke hati. (*)

Nur Annisa

Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: