Njenang Suro, Warga Songgokerto Mengaduk Bubur Sambil Berdoa

Njenang Suro, Warga Songgokerto Mengaduk Bubur Sambil Berdoa

Pembuatan bubur Suro yang dilakukan bersama-sama oleh warga Songgokerto.--

Sedangkan penataan pala pendem yang sejajar bermakna sebagai upaya kesejajaran manusia. Tak ada yang lebih tinggi, atau kesetaraan sosial. ”Itulah beberapa sajian yang ada dalam njenang Suro,” katanya.


Seperti biasanya dalam sebuah ritus, ada sesaji yang disediakan seperti juga dalam acara njenang Suro. Wujud persembahan dan syukur kepada Yang Mahakuasa.

Tak lupa dalam melakukan perayaan njenang Suro, juga ada sesaji untuk para leluhur. Tujuannya adalah menghormati mereka. Ketika yang hidup ini berpesta dan bersyukur, para leluhur juga menjadi bagian dari syukuran tersebut.

”Juga selain membuat bubur, terdapat acara pengajian dan pertunjukan seni bantengan dari kelompok bantengan di Malang Raya,” papar penyandang gelar PhD dari University of Adelaide itu.

Buat Prof Myrtati, mengunjungi kawasan Songgoriti, Songgokerto, Batu, sudah yang ketiga kalinya dilakukan dalam beberapa bulan ini. ”Terakhir ya saat perayaan njenang Suro itu. Saya banyak bergaul dengan para pelaku dan pemerhati budaya di kawasan tersebut,” katanya 

Dari acara itu, Prof Myrtati ikut merasakan dan belajar tentang kearifan lokal yang tetap lestari di Songgokerto. Menurutnya melestarikan budaya harus menjadi tanggung jawab semua. ”Karena tradisi didasarkan dari pemikiran leluhur untuk kebaikan masyarakat dan alam sebagai tempat tinggal manusia,” ungkapnya.

Sebelum hadir dalam acara, Prof Myrtati mengawalinya dengan berkunjung ke Candi Songgoriti atau Candi Supo. ”Dinamakan Candi Supo karena yang membangunnya empu bernama Supo,” terangnya.

Candi yang dibangun pada masa pemerintahan Pu Sindok tersebut kini hanya tinggal reruntuhan. Tanpa atap. Reruntuhan lainnya berserakan di sekitar candi. 


Prof Myrtati D Artaria (berkebaya hitam) bersama para ibu-ibu yang mengikuti acara njenang Suro di Desa Songgokerto.

Dilihat dari bentuknya, candi yang dibangun pada paruh pertama abad X tersebut berkarakter Hindu Saiwa, yang memuja Dewa Siwa, yang difungsikan sebagai petirtaan atau pathirtan. Itulah mengapa Candi Songgoriti dapat disebut sebagai Candi Petirtaan.

Nuansa Hindu tergambar dari keberadaan pecahan patung kerbau di bagian atas candi. Meski berukuran kecil, namun kerbau dalam posisi rebah yang khas itu mencerminkan figur Nandi, tokoh kerbau sebagai kendaraan Dewa Siwa. 

Dalam kultur Hindu, siapa saja yang membisikkan doa berisi harapan di telinga kerbau Nandi, maka doanya akan sampai pula ke hadirat Siwa. Dewa Pelebur itu akan mengabulkan doa pemeluknya. Namun itu juga bergantung dari kesungguhan dan kemantapan hati pemeluk tersebut. 


Di tempat itu ada tiga sumber air yang ada di Candi Supo. Yakni air panas, air dingin dan air hangat, atau campuran panas dan dingin. Semua mengandung belerang. Selain sumber air belerang, terdapat telaga berukuran cukup besar. Kini telaga tersebut ada dalam areal Hotel Air Panas Songgoriti. 

”Hebatnya, hingga kini, Candi Supo disakralkan oleh penduduk desa. Para pelaku dan penggiat budaya setempat kerap memanfaatkannya untuk ritus-ritus tertentu,” terangnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: