Catatan Perjalanan: Menjalani Kuliah Sambil Nyantri di Rimba Metropolis Surabaya
Penulis, Muawinati Isna Zilfia (dua dari kanan) bersama kakak angkatan sekaligus teman satu kamar di PPM Al Jihad Surabaya.-Dok Pribadi-
Memangnya bisa ya, kuliah sambil nyantri di Surabaya? Pertanyaan template itu sering muncul ke kami: para santri dan santriwati yang menjalaninya.
Bahkan mereka yang dulunya alumni pondok pesantren masih membayangkan bahwa kuliah sambil nyantri adalah hal yang begitu berat. Apalagi nyantrinya di Surabaya. Kota metropolis dengan segala rayuan duniawi.
Padahal tidak sama sekali. If you enjoy it, it will be easy. Toh saya yang menjalani baik-baik saja.
Muawinati Isna Zilfia menang lomba menulis di PPM Al Jihad.--
Mungkin salah satu ketakutan yang membayangi mereka adalah kuliah jadi molor gara-gara nyantri. Jam kuliah jadi terpangkas gara-gara hidup di pondok.
Nyantri dikambinghitamkan saat mereka menjadi mahasiswa pasif. Sebutan lainnya, kupu-kupu: kuliah pulang-kuliah pulang.
Muawinati Isna Zilfia ketika berada di Jalan Tunjungan Surabaya.--
Selama ini paradigma yang terbangun terhadap pondok pesantren adalah aturannya yang begitu ketat. Tak boleh begini, tak boleh begitu.
Sedangkan paradigma di dunia kampus justru sebaliknya. Kampus dianggap sebagai jenjang menuju kebebasan. Bebas memilih pelajaran dan jam kuliah. Bebas pula pulang malam karena banyak yang tidak tinggal dengan orang tua lagi.
Maka tak heran jika pandangan terhadap mahasiswa yang juga menetap di pondok pesantren agak bagaimana gituu.. Bagaimana bisa air dan minyak bisa bersatu?
Pada kenyataannya, kehidupan kuliah sambil nyantri tidaklah serumit apa yang dibayangkan. Bahkan banyak manfaat dan kelebihan yang akan didapatkan. Tetapi dengan satu syarat: pandai mengatur waktu.
Kuliah sambil nyantri memang awalnya terdengar sedikit rumit karena mengharuskan kita untuk mampu membagi waktu antara kuliah dan kegiatan pondok. Namun, hal ini merupakan tantangan baru bagi saya untuk membuktikan bahwa mondok tidak menghalangi seseorang untuk berkreasi dan meng-upgrade diri.
Keinginan saya untuk kuliah sambil nyantri terdorong oleh sebuah pemikiran bahwa perempuan itu mau berkarir apapun itu terserah. Tapi ngaji ilmu agama dan fiqih itu nomor satu. Karena amal tanpa ilmu itu tidak akan ada gunanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: