Berhenti Berpikir oleh Ari Lancor; Siasat Realitas si Ayam Jantan

Berhenti Berpikir oleh Ari Lancor; Siasat Realitas si Ayam Jantan

Ari Lancor di depan karyanya berjudul Pagi yang Cerah (kiri), Fokus, Pas Anakku Sunat.--

Sebagai terapi dirinya sendiri, Ari Lancor memilih gaya abstrak dalam melukis. Sebuah ekspresi dan aktualisasi pengalaman hidupnya. Dalam Berhenti Berpikir, pameran tunggalnya di Rumah Tembi Budaya Yogyakarta, Ari ’bergejolak’ lebih bebas.

Nama aslinya Arifin. Itu saja. Tanpa imbuhan lain. Nama Lancor disematkannya karena itulah panggilan sayang ibunya kepadanya. Artinya ayam jantan. Berharap Ari bisa menjadi lelaki pemberani dan kuat. Bak ayam jantan. 

”Dibandingkan dengan ayam betina, ayam jantan memang memiliki jalu yang lebih panjang, berukuran yang lebih besar, berbulu ekor yang lebih menjuntai, berjengger lebih besar, fisiknya jauh lebih tinggi, berkokok lebih keras dan nyaring,” terangnya.

Karakter yang kuat itu membuat anak ketiga dari empat bersaudara itu mantap memasukkan nama Lancor sebagai nama belakangnya. 

”Sebagai ’ayam jantan’, saya terdorong selalu berupaya menjadi lebih kuat seperti ciri-ciri hewan itu. Setidaknya untuk bisa berbuat lebih untuk perempuan-perempuan terbaik di sekeliling saya; ibu, istri, dan anak,” ungkapnya. 


Lully Tutus di depan karya berjudul Setali Pusar.

Karakter itu juga membuat Ari cenderung berkisah tentang pengalaman hidup dan gejolak jiwanya dalam lukisan. Pun ketika menggeluti abstrak setelah awalnya cenderung realis dan berobjek atau figur. ”Sebenarnya tidak memilih abstrak. Itu ekspresi spontan karena warna dan pola garis dalam abstrak, sanggup mewakili perasaan saya,” ujar ayah dua anak itu. 

Namun dorongan pada abstrak itu ’dicuri’ Ari melalui idolanya, Kusbandi Leong yang tinggal di Bali. Ia pengrajin mebel yang memberikannya motivasi. ”Saya pernah bilang pada beliau bahwa saya kurang suka abstrak. Karena tak pernah mengerti maksudnya. Eh beliau menjawab agar saya berkarya saja. Yang penting jujur hingga kelak akan tahu sendiri maknanya,” ujarnya.

Hingga Ari menemukan kenikmatan dalam abstrak. ”Ternyata ekspresi diri, gejolak jiwa, luapan kemarahan atau kesedihan tak selalu dapat diaktualisasikan dalam bentuk figur atau objek. Abstraklah yang bisa mencurahkan semua itu lebih maksimal,” katanya.


Lully Tutus menyimak karya Ari Lancor berjudul Kecil Merapat yang dipresentasikan dalam beberapa ukuran kanvas.

Seperti dalam Ini Garisku bukan Garismu. Karya itu penuh lontaran warna yang diekspresikan secara spontan, serta bentuk-bentuk sayatan. Seperti menggambarkan keriuhan atau keramaian, atau bahkan pertempuran. 

Namun itu berkaitan dengan segala hal yang berkelindan dalam pikirannya. Sekaligus ungkapan rindu pada keramaian yang disukainya. Dalam suasana riuh, di tengah bunyi-bunyian serta lalu-lalang manusia, ia justru nyaman bahkan tidur pulas. 

”Demi memenuhi keinginan untuk memenuhi kualitas tidur, saya pernah berjalan ke pusat kota hanya untuk tidur di bangku depan Stasiun Tugu. Dalam kondisi seperti itu saya malah bisa tidur nyenyak,” terangnya. 

Berbeda jika ia sendiri. Dalam keheningan, justru Ari mengalami insomnia. Sebab, suasana itu membuat pikirannya bergejolak. Imajinasinya melayang ke mana-mana. Sehingga justru dalam hening, ia dapat melukis dengan lancar. ”Semakin sunyi, semakin aktif pikiran saya. Ekspresi yang muncul lewat lukisan semakin beragam,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: