60 Perupa Bangkit Bersama dalam The Freedom of Art from De Javasche Bank

60 Perupa Bangkit Bersama dalam The Freedom of Art from De Javasche Bank

--

Karya Hendy mendekati unsur impresif seperti milik Hamid. Namun ia menambahkan beberapa aksentuasi warna sebagai gambaran gejolak emosi. Seperti tampak dalam lukisan Berbondong Cumbui Angan. ”Saya membuat beberapa figur remaja yang menatap langit. Dalam suasana kemerdekaan ini, saya berharap apa yang dicita-citakan para pendahulu bangsa, dapat diaktualisasikan oleh para generasi muda,” ungkapnya.

Beberapa pelukis asal Bali turut menyemarakkan pameran. Seperti dua Achmad Tem dengan karyanya berjudul Hero. Ada pula Aricadia yang melukiskan sosok Medusa, tokoh antagonis dalam kisah Yunani Kuno, namun dalam wujud laki-laki. Ia memberi judul lukisan karyanya: Medosa (The Male Medusa). Seolah mengisahkan bahwa wujud dan sifat Medusa tak hanya dicitrakan pada kaum perempuan. Tapi juga laki-laki.

Budi yang didampingi beberapa staf Bank Indonesia Perwakilan Jawa Timur, menghentikan langkahnya di depan karya berjudul Harta dan Tahta, karya pelukis Bali, I Gede Putra Udiyana. Lukisan tersebut dibuat dengan tekstur berjaring-jaring. Sepertinya Udiyana memanfaatkan bahan karung goni sebagai tekstur karya tersebut. Begitu pula dengan karya lain berjudul Bali Dance.
Prosesi pembukaan pameran dilakukan Budi Hanoto dengan mengguratkan cat pada kanvas.

Melihat karya-karya tersebut, Budi lagi-lagi takjub. ”Kok bisa begini ya?,” tanya Budi, tampak penasaran. Ia mengamati tekstur unik lukisan. Ia juga tertarik dengan visual elongasi yang dilakukan Udiyana yang memanjangkan anatomi tubuh penari dalam karya.

Atas karya-karya terbaik dari para perupa yang tersaji memenuhi bangunan lantai dua itu, Budi makin antusias. ”Saya harap acara semacam ini akan berkelanjutan tiap tahun. Pascapandemi, ekonomi bangkit, kesenian juga harus bangkit,” ungkap Budi.

Kekaguman Budi itu diamini oleh kurator pameran, Agus Koecink. Ia menyatakan bahwa pameran kali ini cukup memberi gambaran yang bagus tentang kecenderungan kreasi para perupa meskipun dating dari berbagai gaya.

”Ya ini yang namanya kebebasan berkarya. Ada yang berhasil membebaskan diri dari pengaruh apa pun termasuk politik atau bisikan pembeli lukisan. Tapi ada juga yang masih manut dengan selera pasar,” ungkapnya.
Dalam tajuk The Freedom of Art, pameran yang menyemarakkan HUT ke-77 RI, sekaligus menandai kondisi selepas pandemi. Sebanyak 60 perupa pun lebih bebas berkarya.

Hal tersebut menurut Agus sah-sah saja dalam seni rupa. ”Lukisan adalah terjemahan dari keinginan pelukisnya. Enggak apa-apa. Semua patut diapreasi. Yang penting ada pesan yang dibawa. Dan asal tidak meniru, menjiplak, atau memalsu lukisan,” ungkap dosen STKW itu.

Menurut Agus, The Freedom of Art from De Javasche Bank juga jadi ajang kebebasan ekspresi, kebebasan diri. ”Bebas berekspresi untuk kemajuan bersama, seiring perkembangan teknologi dan kemajuan dunia seni rupa itu sendiri,” tandasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: