Farel Prayoga

Farel Prayoga

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Gus Dur dengan santai menerima tamu dengan bersandal dan mengenakan sarung. Tetamu istana juga bebas keluar masuk dengan pakaian informal seadanya. Para kiai yang sering menjadi tamu Gus Dur bisa datang ke istana dengan bersarung dan bersandal seperti sang tuan rumah.

Hal itu dilakukan Gus Dur sebagai bentuk perlawanan kultural dengan melakukan dekonstruksi terhadap kekuasaan Soeharto yang elitis-transenden. Gus Dur menjadikan kekuasaan merakyat dan profan. 

Puncak dari dekonstruksi kekuasaan yang dilakukan Gus Dur ditunjukkan ketika Gus Dur keluar dari istana setelah pemakzulan oleh DPR. Ketika itu Gus Dur tampil memberikan pernyataan pers dengan mengenakan piyama dan celana pendek. Gus Dur kemudian meninggalkan istana dengan pakaian itu.

Meski tidak didasari filosofi yang sama, Jokowi juga melakukan dekonstruksi dan desakralisasi kekuasaan istana. Sepuluh tahun masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), suasana istana kembali seperti era Soeharto. 

SBY ialah seorang demokrat. Tetapi, ia mempunyai disiplin militer yang tinggi dan sangat hati-hati menjaga citra sebagai pemimpin. SBY berbicara dan bertingkah laku secara ”orchestrated”, dengan sangat rapi dan teliti. Segala atribut kekuasaan, termasuk istana, kembali menjadi sakral.

Sepeninggal SBY, Jokowi menampilkan wajah kekuasaan yang lebih merakyat, setidaknya pada tampilan fisiknya. Jokowi secara ”orchestrated” menampilkan citra sebagai bagian dari wong cilik yang sederhana.

Meski demikian, tampilan fisik itu tidak serta-merta mewakili esensi. Penulis Australia, Ben Bland, menyebut Jokowi sebagai man of contradiction, ’manusia yang penuh kontradiksi dengan diri sendiri’. Bland melihat Jokowi mengalami banyak kontradiksi antara citra dan kenyataan.

Momen 17 agustusan bersama Farel Prayoga adalah momen desakralisasi istana oleh Jokowi. Kekuasaan yang sekarang dipegang Jokowi dan istana yang ditempatinya didapat dari mandat rakyat. Karena itu, harus dikembalikan kepada rakyat ketika mandat tersebut berakhir. 

Artinya, Jokowi harus rela mengakhiri jabatannya pada 2024. Juga, tidak melakukan rekayasa apa pun untuk memperpanjang periode atau sibuk kasak-kusuk mempersiapkan pengganti. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: