Napak Tilas Jalur Kuno Gunung Pawitra, Festival Penanggungan 2022: Mengapa Bernama Candi Carik dan Lurah? (3)

Napak Tilas Jalur Kuno Gunung Pawitra, Festival Penanggungan 2022: Mengapa Bernama Candi Carik dan Lurah? (3)

Tongkat Mendaki Hadi Sidomulyo diletakkan di Candi Carik, ia berfoto dengan Wartawan Disway Internship Programme (DIO) Yusuf Dwi. -Yusuf Dwi/Harian Disway-


Peneliti Inggris Hadi Sidomulyo di depan Candi Carik.-Yusuf Dwi/Harian Disway-

Di belakang kami tampak dataran rendah Mojokerto. Sedangkan wilayah Sidoarjo dan Surabaya juga samar-samar.

Hadi duduk di dekat candi sambil menenggak air mineral dan memakan pisang yang dibawa sebagai bekal. Ada yang menarik, ia selalu membawa tongkat bambu yang setia menemani pendakiannya. Bambu itu ialah bambu patil lele.

Beberapa orang meyakini bambu itu punya kekuatan magis. Jadi pusaka, jimat, pelet, atau diisi makhluk gaib. Namun, bagi Hadi, bambu itu hanyalah alat bantu mendaki. Yang bentuknya memang unik.

Kecintaannya terhadap situs purbakala dimulai sejak 1971. Ia suka dengan cerita-cerita Mahabharata. Namun, fokus penelitian Gunung Penanggungan dilakukan 10 tahun terakhir. Ia ikut dalam penemuan 117 situs. Katanya, itu hanyalah sebuah permulaan. Seharusnya ada lebih banyak situs yang bisa ditemukan.

”Itu semua masih kulitnya, masih banyak situs yang harus diteliti lebih lanjut,” kata budayawan lulusan seni rupa itu. Setelah mengalami kebakaran hebat pada 2015, Gunung Penanggungan mulai menampakan dirinya. Bersama tim ekspedisi Ubaya, Hadi Sidomulyo menyusuri tiap jejak peninggalan Pawitra.

Hawa sejuk bercampur terik panas matahari menyelimuti Candi Carik. Bentuknya nyaris sama dengan Candi Naga yang sudah kami datangi. Candi Carik dibangun dengan batu andesit yang disusun piramida berteras lima.  Diperkirakan, candi itu berfungsi sebagai tempat pemujaan. Teras tertingginya dipakai untuk altar pemujaan.

”Seratus meter lagi kita sudah sampai Candi Lurah,” kata Kusworo, pemandu rombongan kloter kedua. Tak banyak informasi yang dapat digali di candi itu. Makanya, Hadi mengatakan semua temuan itu masih kulit.


Wujud Candi Lurah di kaki Gunung Pawitra.-Yusuf Dwi/Harian Disway-

Rombongan pun melanjutkan perjalanan menembus jalan setapak yang dipenuhi semak-semak. Jaraknya memang dekat, tapi makin lama makin menanjak. Punggung dan kaki rasanya sudah remuk. Ransel yang berisi logistik dan tenda itu cukup menyiksa. Jangan di-bully ya, ini memang pendakian pertama saya. Mudah-mudahan akan ada banyak gunung-gunung lain yang bisa saya daki setelah ini.

Di tengah perjalanan, Hadi menjelaskan sebuah teknologi zaman purba. Katanya, ciri khas dari jalur kuno selalu ada lempengan yang menahan bibir jurang. ”Betapa majunya teknologi zaman itu, Talut-talut seperti ini dibangun untuk menahan tebing di atasnya agar tidak longsor,” ungkapnya.

Memang benar kata para pendaki kebanyakan, selalu ada ilmu yang didapat ketika kita menjelajahi gunung.

Tak lama setelah itu, kami sampai di Candi Lurah. Tepatnya berada di sebelah barat Gunung Penanggungan. Seperti dua candi sebelumnya, Candi Lurah memiliki struktur punden berundak. Batu andesit berusia ratusan tahun itu masih kuat dan masih utuh.

Ada dua altar pemujaan di Candi Lurah. Pertama terletak di bagian bawah, posisinya lurus dengan anak tangga. Yang kedua tepat di puncak.

Di sana para pendaki kembali bergerombol mencari tempat teduh di bawah pohon rindang. Saya berpikir mengapa dua candi tersebut bernama Candi Carik dan Candi Lurah. Apakah candi tersebut di bangun untuk lurah atau carik di zaman kerajaan dulu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: