Catatan Pameran Tunggal Dwi Januartanto; Keraguan dan Keyakinan Itu Satu

Catatan Pameran Tunggal Dwi Januartanto; Keraguan dan Keyakinan Itu Satu

Dwi Januartanto di samping karyanya berjudul Pink.--

Dari pameran tunggal Dwi Januartanto Absurdity, Mimicry, and New Sincerity di Gedung Aksera, saya menengok kembali bagaimana karya-karyanya berkembang. Sekaligus bertanya, sejujurnya seberapa besar impact karya dia sebelumnya dengan karyanya kali ini?

Dalam pameran pada 20 Juli-5 Agustus lalu, Dwi Januartanto -pemenang Gold Winner UOB Painting of The Year 2019- mengangkat tema yang tampak jelas tak segan-segan seakan-akan berusaha menghentikan arus deras romantisme seni rupa yang menjadi sebagian besar acuan karya-karya yang dipamerkan oleh Aksera selama ini.

Karya-karya terbaik Januar yang dibuatnya dalam periode penciptaan pada kurun 2019-2022 itu masih berhubungan dengan periode waktu. Temanya masih menjadi satu kesatuan dengan Metameme dari sub Absurdity, Mimicry, and New Sincerity. 
Salah satu karya Dwi Januartanto dalam pameran tunggal Absurdity, Mimicry, and New Sincerity, berjudul Black Magic, akrilik di atas kertas, berukuran 21x32 centimeter.

Absurdity diwakili dua atau tiga karya. Begitu pula dengan Mimicry dan New Sincerity.

Persoalan absurdity dalam karyanya adalah sikap hidup yang terus menerus mencari dan membuat makna bagi diri. Bukan memungut atau memakai hal-hal besar entah dogma estetik, spiritual, atau pengertian-pengertian besar lainnya yang mendominasi.

Seperti pada karya Filosofi Semen yang menggunakan material mix media berupa kawat dan kaleng dengan isian adukan semen dalam cangkir. 

Menurutnya tak banyak orang mau repot-repot berpikir apalagi mendengar. Banyak orang yakin dengan ketidakyakinannya lantas menjadi ”pengepul” pengertian-pengertian yang tidak diketahui mana kepala dan mana ekornya. Atau sebaliknya bahkan tidak yakin pada segala hal.
Tai Ayam, judul yang diberikan Dwi Januartanto untuk karya berukuran 32x21 centimeter yang dibuatnya dengan bolpoin dan marker di atas kertas.

Karena itu, menikmati keraguan adalah salah satu pilihan untuk menjadi lengkap, yakin dan ragu dalam kontigensi dan simultan. Sering kita mendengar ”kosongkan gelasmu agar tak tumpah ruah saat diisi” merupakan metafora dari keterbukaan. Karya ini gambaran kegagalan atas hal tersebut dalam pemaknaan tingkat pertama.

Pada tingkat kedua, budaya ngopi sering disandingkan dengan hal-hal luang yakni semacam hal-hal yang tidak produktif dalam akumulasi modal. Budaya ngopi dan intelektual embongan pun sering disejajarkan.

Saat massa menerima wacana kemudian bereaksi dan terjadi konsumsi tentulah pemodal segera mengambil peluang semisal munculnya jargon ”filosofi kopi” dan sebentuknya.

Menurut Januar, munculnya kedai-kedai kopi tentu saja selalu dibarengi dengan pembangunan fisik sementara bangunan mental ketinggalan. Pengertian-pengertian seolah-olah hanya bisa dikonsumsi dengan cara tempat dan kondisi tertentu.

Pada tingkat ketiga, keempat, dan seterusnya tentu pengertian pada karya adalah liar dan masing-masing subjek berhak memahami relasi objek sesuai pengalamannya.

Menikmati karya-karya Januar serasa banyak hal yang ”nanggung” dan tampak tak bebas. Namun Januar menjawab bahwa keraguan dan keyakinan itu satu. Dia merasa sangat bebas. Tidak ada yang ditahan.

Hanya, menurutnya, orang-orang acap kali terjebak dengan popularitas semu dan nama besar serta tidak mau benar-benar melihat karya. Persoalan ditahan atau ”loss” akan selalu ada hanya saja porsi dan eksekusinya berbeda-beda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: