Berkreasi dengan Kulit, Faried Wardhana Kampanye 3R
Faried Wardhana mengoleskan leather balm untuk membuat efek mengilap pada kulit yang dipakainya.--
Mengolah kerajinan berbahan kulit dan sepatu kulit yang tak terpakai menjadi barang bernilai guna sekaligus artistik dilakukan Faried Wardhana sejak 2015.
Ruang dalam di sisi timur Wasik House, di Jalan Petemon IV A/28, Surabaya, terpajang berbagai produk kulit. Mulai dari dompet, tas, tali dan lain-lain.
Kreator benda-benda tersebut adalah Faried Wardhana.
Ia berada di bawah naungan Wasik Desavior, yang dikelola oleh Johonas Budi Pamungkas (Dandu). Musisi, eks drummer Devadatta yang juga penggemar dan pengusaha barang antik. ”Saya membuat tas ini dari bahan kulit. Kulitnya diambil dari sepatu bekas bermerek Dr Martens milik Dandu,” ungkapnya.
Faried Wardhana tengah membuat tas dari bahan sepatu yang disulapnya makin artistik.
Ia memperlihatkan tiap bagian tas karyanya itu. Dari depan hingga belakang. ”Nah bagian belakang ini ada sedikit jahitan. Proses menjahit hanya dilakukan pada bagian ini,” ungkapnya sembari menunjuk posisi benang kulit dalam tas tersebut.
Inspirasi itu didapat dari kunjungannya ke rumah Dandu. Ketika itu ia melihat beberapa sepatu Dr Martens yang tergeletak dan tak layak pakai.
Faried yang mengamati sepatu tersebut kemudian memintanya dari Dandu untuk diolah.”Saya lihat dulu. Apakah memungkinkan untuk diolah atau tidak. Beberapa koleksi Dandu ternyata masih layak. Saya langsung beraksi,” ungkapnya.
Sepatu-sepatu itu dicuci terlebih dulu sampai benar-benar bersih. Faried mulai membedahnya. Mengambil sisi kulit sepatu, memotong namun menyertakan beberapa bagian potongan.
Masing-masing dicuci kembali kemudian diangin-anginkan. ”Ada perawatan khusus untuk sepatu bekas. Setelah semua bersih, tinggal membentuk sesuai pola,” ungkapnya.
Ia mengoleskan minyak pembersih, kemudian leather balm untuk menghaluskan sekaligus memberi efek pada kulit agar mengilap. ”Dari sepatu, saya modifikasi. Istilahnya rekondisi. Menjadi barang baru yang bermanfaat sekaligus bernilai jual,” ujarnya.
Tongue sepatu yang masih bertuliskan merek Dr Martens tetap ia cantumkan. Menjadi bagian atas tas tersebut. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk apresiasi terhadap Dr Martens. Ia tak sekadar mengambil bagian dari sepatu tersebut kemudian membuang mereknya.
Penghargaan itu memang baik. Tapi apa tidak takut diprotes? “Lho, justru dengan begini orang akan tahu kualitas merek Dr Martens kan? Bahwa produk bekas mereka pun masih bisa direkondisi dan dibentuk menjadi barang baru. Bukti bahwa produknya berkualitas,” terang pria 44 tahun itu.
Sebelum mengawali profesinya sejak 2015, pada 2009, Faried sempat berdagang bakso keliling. Pada 2010 sebagai reseller produk sepatu berbahan kulit. Pekerjaan reseller itu mengingatkan Faried terhadap kegemarannya pada produk kulit sejak remaja. ”Semakin lama produk kulit semakin mahal dan tak terjangkau. Saya ingin membuat kerajinan kulit yang berharga relatif murah,” tutur ayah satu anak itu.
Produk awalnya adalah tas kulit. Beberapa dibuat dari bahan jaket kulit yang sudah tidak terpakai. Kreativitas dan inovasinya itu mengantar Faried hingga ke Osaka, Jepang pada 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: