Nicholas Saputra Keras Kepala Demi Calonarang

Nicholas Saputra Keras Kepala Demi Calonarang

--

JAKARTA, HARIAN DISWAY - Pertunjukan teater yang mengangkat tradisi Bali berjudul Sudamala: Epilog dari Calonarang berlangsung sukses. Tiket selama dua hari ludes. Sebagai produser, Nicholas Saputra harus bekerja sama dengan Happy Salma.

Berdua dengan Happy Salma, Nicholas Saputra puas akhirnya mimpinya untuk membawa lakon Calonarang dipentaskan terwujud. Padahal mulanya, ia sering melihatnya di berbagai tempat di Bali.

Selama pandemi Covid-19, Nicholas Saputra memang menghabiskan lebih dari setengah waktunya di Bali. Saat itulah ia memanfaatkannya untuk mengalami berbagai peristiwa dan bertemu dengan berbagai seniman Bali.

Di tengah-tengah masa ia menetap di Bali, Happy Salma, sahabatnya, sedang membuat sebuah pertunjukan pentas di jantung kota Ubud berjudul Taksu Ubud. Melibatkan penari dan musisi tradisi dari Bali.

Sama dengan Calonarang, perunjukan itu adalah kolaborasi pentas kontemporer dengan napas tradisi Bali yang kuat. Tercetuslah gagasan mementaskan Sudamala: Dari Epilog Calonarang setelah diskusi dengan Happy Salma –pendiri Titimangsa Foundation- dan didukung Cokorda Gde Bayu Putra. 

”Kami ingin mengajak penonton untuk melihat kembali Bali melalui sebuah pertunjukan. Dari sudut pandang yang bebas dari wajah Bali sebagai destinasi wisata, dari akar yang menjadikan Bali,” ujarnya.

Untuk pertunjukan itu, Titimangsa Foundation melibatkan lebih dari seratus orang dalam pertunjukan ini tidaklah mudah. Karena itu, bersama Nicholas Saputra sebagai produser, Happy Salam mengaku harus menjadi keras kepala. Sebab inilah kali pertama mereka bekerja bersama dalam membuat pertunjukan.

”Namun saya sadari, kami beradaptasi dengan cukup pesat. Bagaimana menampilkan sesuatu yang berakar dari tradisi atau ritual bisa memiliki relevansi dengan permasalahan atau pandangan hidup kawula umum? Itu adalah cita-cita kami,” kata Happy Salma.

Namun hasilnya nyata. Selama dua malam, 10-11 September 2022, Gedung Arsip Nasional Jakarta dipenuhi penonton. Apalagi Bali seperti dibawa ke gedung. Suasana itu membuat para penonton datang menyesuaikan. Ada yang mengenakan pakaian putih-putih seperti sedang melaksanakan peribadatan. Ada yang mengenakan kebaya dan ada pula yang memakai sarung. 

Gedung juga dihiasi janur dan aroma dupa yang menambah kesan Bali. Nuansa Bali juga semakin kuat dengan adanya pameran keris pada ruang depan Gedung Arsip Nasional. Pada ruang pamer tersebut terpajang empat keris seri Keris Tangguh Kamardikan buatan Made Pada.

Pada area pertunjukan pun penonton langsung disambut dengan iringan gamelan Bali yang tidak berhenti ditabuh. Artistik panggung juga tersajikan nuansa pedesaan Bali yang masih alami dengan banyaknya pohon hingga gubuk bambu. Di sisi depan panggung berbentuk seperti gapura kerajaan.

Pertunjukan diawali dengan adanya tari-tarian Bali lengkap dengan Barong dan penari topeng yang menemaninya. Irama gamelan Bali yang rancak berpadu dengan tarian penari menghibur penonton yang datang. Hingga muncullah seorang Bondres, punakawan kerajaan yang memandu jalannya cerita.

Dalam tradisi Bali, pertunjukan itu termasuk penggambaran suddhamala. Bisa melalui drama tari Calonarang. Sebuah karya sastra yang berasal dari Jawa Timur dan dibawa ke Bali setelah runtuhnya kerajaan Majapahit.

Setibanya di Bali, karya sastra itu ditulis kembali dengan mempertahankan modelnya yang asli dan ada pula yang ditransformasikan ke dalam karya sastra yang berbeda sehingga lahirlah karya sastra turunan dan saduran tentang Calonarang.

Sumber: