Anak Bunuh Ayah di Ngawi, Tinjauan Kriminologi

Anak Bunuh Ayah di Ngawi, Tinjauan Kriminologi

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Ini sulit dinalar. Fahri, 19, membunuh ayahnya, Wachid, 51, di Ngawi, Jatim, Jumat (9/9). Tiga tusukan di dada, tembus paru. Alasannya, ia bosan setahun rawat Wachid yang stroke. Mengapa begitu tega?

WACHID sudah lama pisah dengan istri, Erlina Kuswandari. Anak mereka dua: Erika Sekar Ayu, 25, sudah menikah dan ikut suami. Lalu, M. Fahri Wahyu Erfianto, 19. Ia tinggal bersama Wachid di Desa Gayam, Kecamatan Kendal, Ngawi.

Wachid sudah setahun ini stroke, dirawat Fahri.

Jumat (9/9) malam Erika bersama suami sowan ke rumah ayah, rumah kondisi tertutup, gelap.

Erika: ”Saya masuk rumah, kondisi gelap. Lampu saya nyalakan, saya lihat bapak tidur di lantai. Saya bangunkan, gak bangun-bangun. Lalu, saya lihat dadanya bolong, banyak darah.”

Erika mencari Fahri, tidak ketemu. Buka lemari, tahulah dia bahwa Fahri pergi membawa pakaiannya. Erika menelepon HP Fahri, tidak tersambung.

Jenazah Wachid dilarikan ke RSUD dr Soeroto, Ngawi, setelah polisi melakukan penyelidikan.

Kasatreskrim Polres Ngawi AKP Agung Joko Haryono kepada pers membenarkan adanya dugaan pembunuhan Wachid. Senjata tajam tidak ditemukan di TKP.

Hasil pemeriksaan jenazah di RSUD dr Soeroto, ditemukan tiga luka tusuk di dada, tembus paru. Dugaan waktu kematian sekitar pukul 14.00 Jumat (9/9).

Fahri dikejar polisi. Beberapa hari kemudian ditangkap, saat Fahri tidur di sebuah masjid di area Keraton Solo. Dalam tasnya ditemukan pisau dapur yang diakui Fahri sebagai alat bunuh. Ia ditahan di Polres Ngawi.

Kepada polisi, Fahri mengaku bosan merawat ayahnya. Lantas, minta uang ke ayah sebagai bekal merantau. Tidak diberi. Akhirnya, Fahri membunuh ayah. Terus kabur.

Motif sangat sepele. Juga tidak rasional. Sebab, Fahri satu-satunya orang yang merawat Wachid.

Fahri, selain mengakui perbuatannya kepada polisi, juga kepada Erika dan ibu mereka, Erlina Kuswandari. Saat mereka dipertemukan di Polres Ngawi. Itulah pertemuan ibu-anak-anak setelah pisah bertahun-tahun.

Erika (menangis): ”Kepada ibu dan saya, adik akhirnya mengaku bahwa ia yang melakukannya.”

Entah apa kaitannya, Fahri juga cerita kepada Erlina dan Erika, bahwa sebelum Fahri lulus SMA Kendal, Maret 2022, ia di-bully teman-teman sekolah. Sampai parah.

Erika menirukan Fahri: ”Aku dipukuli diam saja, aku diolok-olok juga tidak melawan.”

Dari ringkasan itu bisa disimpulkan: Keluarga Fahri broken home. Ia pernah di-bully. Motif pembunuhan berdasar pengakuan tersangka: irasional.

Dalam kriminologi, anak membunuh ortu disebut patrisida (parricide). Parricide berasal dari bahasa Latin. Artinya, pembunuhan kerabat dekat.

Dr Joni E. Johnston dalam makalah ilmiah bertajuk ”What Kind of Son Kills His Dad?" dipublikasi di Psychology Today, 17 Mei 2022, mengutip data Federal Bureau of Investigation (FBI) tentang parricide di Amerika Serikat (AS). Begini:

Per akhir 2016, tercatat 15.129 korban pembunuhan di AS (di 50 negara bagian plus Washington DC). Dari jumlah itu, ada 355 kasus parricide. Perincian korban: 169 anak bunuh ibu, 186 anak bunuh ayah.

Dengan kata lain, sekitar 2,3 persen dari pembunuhan di sana adalah parricide. Sekitar 92 persen pembunuh parricide dari jumlah tersebut dilakukan anak laki-laki. Di Indonesia belum ada riset soal itu.

Dr Joni E. Johnston (perempuan) adalah psikolog forensik berlisensi dan penyelidik swasta bidang pembunuhan. Fokus di pelaku anak-anak dan remaja.

Di makalahnya itu, Johnston mengutip pembunuhan menghebohkan di Desa Zumbro Falls, Kabupaten Wabasha, Negara Bagian Minnesota, AS.

Jumat, 5 Maret 2021, warga desa tersebut, Edward Riley, 73, ditemukan tewas di bagasi mobilnya, di rumahnya. Orang pertama yang mengetahui jasad Riley adalah istrinya.

Istri korban kepada polisi menceritakan, hari itu dirinyi pulang dari menjalankan tugas di peternakan keluarga, mendapati mobil mereka diparkir di lokasi tidak biasa di dekat rumah. Dia lalu memeriksa.

Di bagasi, dia menemukan tubuh Riley berlumuran darah. Di dekat mobil ada seember tanah dan cangkul. Putranya, James Edward Riley, 46, tidak ada di rumah. Ny Riley menelepon 911, lalu rombongan polisi tiba di TKP.

Polisi menyatakan, Edward Riley sudah meninggal. Akibat pembunuhan.

Dugaan awal, pelakunya anak korban, yakni James Edward Riley (biar gampang dipanggil James, bapaknya dipanggil Edward). Polisi memburu James, ditangkap, diinterogasi, tidak mengaku.

Polisi menunjukkan beberapa bukti kepada tersangka. Di antaranya, bercak darah di sepatu James identik dengan darah ayahnya. Dan, sidik jari James di cangkul serta di banyak titik di mobil.

Akhirnya, James mengaku. Diawali memukul belakang kepala Edward dengan palu. Sekali pukul, Edward tumbang. Lantas, dada Edward ditusuk pisau berkali-kali. Sampai jebol.

Ia berencana mengubur ayahnya, tapi keburu ibunya pulang. Ia menyelinap di sekitar rumah (tanpa terlihat ibunya), lantas kabur.

Dalam sidang di Pengadilan Distrik Kabupaten Wabasha, 13 Mei 2022, James terbukti melakukan pembunuhan tingkat dua (tanpa rencana). Ia dijatuhi hukuman 36 tahun bui tanpa remisi dan pembebasan bersyarat.

Terpenting, Johnston dalam makalahnya mengulas, betapa masa kanak-kanak James sering dipukul ayahnya, Edward Riley. Bahkan, pernah digantung setengah hari, posisi kaki di atas, di pagar halaman rumah di bawah terik matahari.

Gegaranya, James tidak patuh pada perintah ayah. Ibu James jadi saksi tindak keras Edward kepada James. Tapi, sang ibu tidak bisa bertindak karena Edward tipe agresif emosional.

Inti makalah itu, perlakukan ortu yang kasar terhadap anak membentuk kegilaan anak di masa dewasa. Mencetak pribadi antisosial pada anak. Tidak punya empati. Dan, miskin afeksi.

Johnston menyimpulkan, tujuan ortu mendidik anak disiplin, bagus. Tanda ortu menyayangi anak agar kelak tidak lembek. Namun, menyerang fisik atau psikologis anak akan menghasilkan anak sakit jiwa.

Prof Dr Kathleen M. Heide dalam bukunya, ”Why Kids Kill Parents: Child Abuse and Adolescent Homicide” (1992), diungkap detail analisis ilmiah parricide.

Buku itu meski ditulis tiga dasawarsa lalu, tapi per Agustus 2022, sudah dicetak 18.327 kali. Best seller di AS. Tanda, bahwa masyarakat sana sangat khawatir menghasilkan anak-anak pembunuh ortu.

Heide adalah kriminolog terkenal di sana. Dia guru besar kriminologi di University of South Florida, AS. Dia juga kepala Department of Criminology di sana.

Di buku itu Heide kagak pake basa-basi. Dari hasil riset, terungkap bahwa pelaku parricide adalah anak atau orang sakit jiwa. Bisa akibat sakit jiwa bawaan (genetik) atau bentukan (salah didik ortu) di saat pelaku masih kanak-kanak.

Heide membagi tiga golongan pelaku parricide.

1) Anak yang mengalami kekerasan berat.

2) Anak antisosial yang berbahaya.

3) Anak yang sakit mental parah.

Nomor satu jelas. Mirip seperti analisis Johnston. Anak yang dididik ortu dengan cara keras. Baik fisik maupun psikologis. Fisik, dalam bentuk pukulan. Psikologis, bentuk kata-kata yang menusuk hati.

Yang mengejutkan, ortu membandingkan prestasi seorang anak dengan saudaranya atau anak lain bukan saudara, termasuk cara didik yang salah. Apalagi, jika disertai dengan kata-kata makian atau merendahkan. Misalnya, ”Kamu ini anak bodoh. Kalah dengan adikmu yang pintar.”

Jika si anak tidak memilik kekuatan mental memadai, ia bisa jatuh mental. Kejatuhannya menimbulkan sakit hati. Makin dipendam, mengendap jadi penderitaan. Suatu saat, setelah ia remaja atau dewasa, muncul dalam bentuk agresivitas.

Nomor dua, antisosial. Sebagai akibat dari nomor satu, kekerasan berat. Karena menerima didikan keras dari ortu, anak jadi antisosial.

Sikap antisosial tidak bisa dibaca ortu dari perilaku anak. Anak kelihatan baik-baik saja. Tapi, ia memendam dendam bertahun-tahun. Jadilah antisosial.

Nomor tiga, sakit mental parah karena pembawaan sejak lahir (genetik). Jenis itu bisa diamati dari tingkah laku. Di masyarakat sederhana, yang miskin, biasanya dipasung. Cara gampang menutup kemungkinan bahaya.

Jika ortu cukup secara ekonomi, anak jenis itu diterapi ahli jiwa. Bisa juga masuk RS jiwa.

Baik Heide maupun Johnston, dalam teori, mereka sama: Sesungguhnya ortu tidak berniat jahat terhadap anak-anak mereka. Seandainya ada ortu berniat jahat terhadap anak, itulah deviasi. Sangat jarang ada.

Kenyataan justru sebaliknya. Ortu sayang anak-anak. Menegakkan disiplin. Mendidik dengan keras. Tujuannya, anak-anak mereka kelak sukses menjalani hidup di masa dewasa. Mereka memacu semangat anak dengan cara membandingkan dengan anak lebih pintar.

Niat baik ortu belum tentu dipersepsi baik oleh anak. Juga, belum tentu menghasilkan kebaikan. Malah menghasilkan sebaliknya. Suatu ironi.

Penyair besar Kahlil Gibran, dalam puisinya bertajuk ”Anakmu Bukanlah Anakmu”, bunyinya begini:

Mereka adalah putra-putri kehidupan dirinya sendiri.

Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal darimu.

Meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.

Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri. (*)

Sumber: