Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Tercerabut Dari Surga Kecil Trenggalek (36)

Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung:  Tercerabut Dari Surga Kecil Trenggalek (36)

Sumi Kasiyo saat pulang ke Trenggalek. Pemandangan pantai Ngruno, selalu dirindukan.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Mayoritas di antara ribuan anak yang diadopsi ke Belanda pada 1973–1983 dibawa ketika masih bayi. Mereka tak mengingat masa kecilnya di Indonesia. Namun, Sumi Kasiyo dan sang kakak Suyatmi dipisahkan dari keluarga besar sejak usia 6 dan 9 tahun. Trauma yang dialami begitu besar. Kenangan masa kecil di Ngruno, Watulimo, Trenggalek, Jawa Timur, masih melekat sampai sekarang. 

Matahari bersinar terang siang itu di Ngruno. Sumi kecil mencari naungan di bawah pohon. Ia bermain dengan tongkat dan batu sambil duduk berjongkok. 

Dia berusaha menggosokkan tongkat kayu ke tongkat lainnya untuk membuat api. Dia biasa melihat sang ibu melakukan hal tersebut.

Keringat mengucur dari sekujur tubuhnyi yang mungil bukan hanya karena cuaca siang itu, melainkan juga usahanyi yang begitu keras untuk menciptakan api. Dia terus menggosokkan kayu tersebut dengan cepat sambil memejamkan mata.

Dalam hatinya, Sumi berkata, ”Ayo Sumi, kamu pasti bisa melakukannya.” Demikian tulis Sumi empat tahun silam tentang kenangan masa lalunyi.

Tiba-tiba kayu itu terbakar. Sumi tersenyum dengan bangga. Dia menunjukkan ke sang ibu bahwa dia sudah bisa membuat api seperti yang ibunyi lakukan.


Kakak beradik Suyatmi (kanan) dan Sumi Kasiyo ketika sudah tiba di Belanda. Usia mereka 6 dan 9 tahun. -Sumi Kasiyo for Harian Disway-

”Ibu, ibu, saya membuat api!” ujar Sumi. Sang ibu keluar dengan mimik wajah yang sama riangnyi. 

 ”Bagus sayangku, anak pintar!” sahut sang ibu sambil mencium putri keenamnyi itu. Sumi anak bungsu dari enam bersaudara. Dia bisa merasakan kasih dan cinta yang begitu nyata di masa kecilnyi.

Sumi juga masih ingat bahwa dirinyi tinggal di dataran tinggi dengan banyak tanaman hijau dan beragam jenis pohon. Di depan rumahnyi terdapat pemandangan pantai selatan Jawa yang menawan. ”I am from the mountain (Aku berasal dari gunung, Red),” ujar Sumi.

Itulah surga tropis dengan kombinasi sempurna. Samudra nan biru dengan hasil laut yang melimpah. Juga, hutan hijau dengan berbagai buah-buahan eksotis.

Ada sumber air di belakang rumah. Dipakai untuk minum dan mencuci pakaian. Ada juga jamban dari bambu dan toilet terbuka untuk umum. Kalau berjalan lebih jauh, dia bisa menemukan samudra biru tak berujung. 

Di depan rumah juga ada sungai berbatu. Sumi sering main ke sana untuk mendinginkan diri. Nyemplung pakai baju karena setelah mentas pasti cepat kering. Perpaduan angin gunung dan pantai Trenggalek begitu kencang. 

Perempuan yang diadopsi ke Belanda pada 1979 itu sering pergi ke sana sendirian. Sambil memejamkan mata, dia berpegangan ke bebatuan besar. Dia takut sekali terpeleset.

Detail memori itu masih tersimpan di ingatannyi. Entah mengapa kehidupan penuh cinta dan kebahagiaan tersebut tiba-tiba berubah seketika

Semua berubah saat sang ayah Kasiyo meninggal dunia. Tulang punggung keluarga itu meninggalkan istri dengan enam anak.

Sumi yang masih berusia 5 tahun menyaksikan sendiri peristiwa tersebut di suatu pagi. Sang ayah tak bisa dibangunkan. Semua anak menyaksikan itu karena mereka tinggal di satu ranjang besar yang dipakai bersama. Rupanya sang ayah tak bangun untuk selamanya. 

Ibunda Sumi, Damikem, mengalami tekanan luar biasa kala itu. Anak-anaknyi masih kecil. Enam orang pula. 

Kehidupan mereka yang damai dan menyenangkan tiba-tiba berubah. Suatu hari sang ibu mengatakan bahwa Sumi dan kakaknyi untuk sementara tinggal di rumah paman dan bibi yang tak dia kenali. Mereka kaget, tapi tak bisa menolak.


Pemandangan indah di pantai selatan Trenggalek. Di sinilah Sumi dan Suyatmi dilahirkan.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Dua bocah tanpa dosa tersebut dibawa ke kota lain. Sumi tak tahu di mana itu. Namun, sejak saat itu, dia melihat banyak hal. Inilah kali pertama dia keluar dari surga kecil di ujung Trenggalek: Ngruno. Ia melihat banyak mobil lalu lalang dengan gedung-gedung bertembok tinggi. Sangat kontras dengan kampung halamannyi.

Sang ibu sempat datang ke tempat persinggahan itu untuk mengambil dua anaknyi pulang. Namun, orang-orang tersebut tak mau melepasnyi kembali ke Trenggalek.

Dia masih ingat detail peristiwa yang membawa trauma mendalam itu. Sang ibu berusaha meraih tangan anaknya, tetapi orang-orang di rumah tersebut mendorong masuk Sumi dan sang kakak, lalu pintu dikunci. 

Drama dan pertikaian hanya bisa mereka dengarkan dari balik pintu. Sumi dan kakaknyi menangis. Pengalaman itu membuatnyi trauma sampai sekarang.

”Sebagai seorang anak, aku tak pernah menangis sekeras itu,” ucap Sumi. Setiap kali menceritakan kisah tersebut, Sumi selalu terbawa lagi oleh memori mengerikan itu. 

Bagaimana kehidupan seperti di surga kecil itu bisa berubah jadi neraka mengerikan dalam sekejap. (Salman Muhiddin)

Trauma dengan Kereta Api. BACA BESOK!




Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: