Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Kakak Menemukan Ibu di Gorontalo (42)

Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung:  Kakak Menemukan Ibu di Gorontalo (42)

Masa muda Suyatmi dan Sumi Kasiyo ketika di Belanda. Suyatmi, sang kakak lebih dulu memulai pencarian ibu kandung.-Dok Sumi Kasiyo-

Memasuki usia remaja, Sumi Kasiyo makin rindu dengan kampung halaman. Dia mengalami depresi pertama pada 1990. Tak ada yang tahu, termasuk orang tua angkatnyi. Namun, di tahun-tahun setelahnya, tabir sejarah mulai tersingkap.

I did not understand why, but now I know it’s from being adopted. I’m displaced, lost my roots and identity (Pada saat itu, saya tidak mengerti mengapa, tetapi sekarang saya tahu itu karena diadopsi. Saya telantar, kehilangan akar, dan identitas saya, Red),” ujar perempuan kelahiran 6 Juli 1973 itu.

Kesepian terasa begitu dalam. Tak ada yang bisa mengerti perasaannyi. Di hari-hari itu, pikiran Sumi kembali ke kampung halaman: Pantai Ngruno, Trenggalek.

Lebih baik hidup sederhana bersama keluarga ketimbang hidup bergelimang harta di tengah keterasingan. Rasanya seperti bunga mawar yang ditanam dalam pot emas. Dia tak butuh kemewahan itu. Yang dibutuhkan adalah tanah dan air Indonesia untuk akarnyi (Mijn Roots).

Pada 1992, Sumi menemukan cinta pertamanyi. Dia orang Eropa berkulit putih. Itulah warna kulit yang ada di matanyi bertahun-tahun. Bahkan, Sumi sempat mengesampingkan warna kulitnyi sendiri. Warna dari ”akar”-nyi. 

To be honest, I wanted to be white too so I wouldn’t stand out (Sejujurnya, saya ingin menjadi putih juga, jadi saya tidak akan terlalu menonjol, Red),” ujar arsitek jebolan ArtEZ University of Arts itu. 

Dorongan untuk ikut ke mayoritas memang normal terjadi. Apalagi, saat itu belum banyak pendatang dari luar Eropa ke Belanda. 

Pada 1992 atau 1993 sang kakak Suyatmi memulai pencarian ibu kandung mereka. Ibu angkat mereka mendapatkan alamat keluarga Sumi dan Suyatmi.


Tanah kelahiran Sumi Kasiyo di Ngruno, Trenggalek masih asri sampai sekarang. Sebagian besar keluarganyi sudah pindah ke Gorontalo.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Merekah memang pernah tinggal di Ngruno, Trenggalek. Namun, sebagian besar keluarga sudah pindah ke Gorontalo. Ikut program transmigrasi di era Orde Baru.

At that time, my sister always wanted to go home (Pada saat itu saudariku selalu ingin pulang, Red),” ujar Sumi. Lalu, muncullah keajaiban demi keajaiban.

Suatu hari di toko baju, seorang perempuan mendatangi Suyatmi. Pembicaraan pun terjadi. Suyatmi menceritakan kisah adopsinyi.

Perempuan itu ternyata memiliki putri di Gorontalo. Punya sekolah diving di sana? Apakah itu cuma kebetulan atau kehendak Ilahi?

Suyatmi disarankan mengirim e-mail ke anak itu. Rupanya, e-mail dibalas. Dia bersedia membantu dan mengirim satu instruktur selam ke alamat yang dituju. Rupanya, alamat itu dekat dengan rumahnyi.

It’s so magical. We found our biological parents from a random lady (Sangat ajaib. Kami menemukan orang tua kandung lewat perempuan tak dikenal, Red),” lanjut fotografer yang juga penulis itu.

Pada 2005 sang kakak kembali membuat langkah besar. Dia memberanikan diri untuk pergi ke Indonesia tanpa Sumi.

Dia mengunjungi ibu dan kakak-kakaknyi di Limboto, Wonosari, Gorontalo. Saat itu Gorontalo baru lima tahun memisahkan diri dari Sulawesi Utara. Jadi provinsi mandiri.


Masa kecil Sumi Kasiyo (memeluk bola) dan kakaknyi Suyatmi (memegang boneka) di tempat penampungan anak pada 1979.-Dok Sumi Kasiyo-

Setelah itu, dia pergi ke Trenggalek, ke tempat kelahirannya, yakni Tasikmadu, dengan saudaranyi, Suwitno. Di sana mereka menemui Suparti yang memutuskan tak ikut transmigrasi ke Sulawesi. 

Begitu tiba di Belanda, Suyatmi membawa dua kabar. Yang satu kabar baik yang satu buruk.

Kabar baiknya, dia berhasil menemukan semua anggota keluarga, termasuk ibu kandungnyi. Mereka semua dalam keadaan sehat.

Kabar buruknya, Suyatmi mendapat kabar bahwa sang paman memaksa ibu mereka untuk menjual anaknyi. Kejam sekali bukan?

Paman Salim namanya. Adik Damikem, ibu kandung Sumi dan Suyatmi. Ia berhasil memaksa Damikem menyerahkan dua putrinyi ke sebuah yayasan. 

Sumi dan Suyatmi sempat menyaksikan ibu mereka menjemput ke yayasan itu. Namun, petugas mengusirnyi. Sayang, sang ibu tak mau membicarakan hal tersebut. Sehingga sikapnya begitu misterius.

Setelah mendengar cerita dari sang kakak, Sumi sangat marah. Rupanya, ada yang sengaja menjual mereka.

Amarah itu mencegahnya untuk datang ke Indonesia. Sumi tak mau datang dalam kondisi marah.

Indonesia, my fatherland, does not deserve my anger. That’s why it took so long to make my own roots travel (Indonesia, tanah airku, tidak pantas menerima kemarahanku. Itu sebabnya, butuh waktu lama untuk memulai perjalanan pencarian akar saya sendiri, Red),” ucap Sumi. (Salman Muhiddin)

 Surat Pertama untuk Ibu. BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: