Belajar Kebinekaan Lewat Wayang Potehi dan Lontong Cap Go Meh
Foto bersama mahasiswa PMM di depan Museum Potehi Gudo, Jombang.-Miftakhul Rozaq-Harian Disway-
Ada banyak tempat yang bisa disebut sebagai etalase kebinekaan. Salah satunya adalah Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang. Di situlah para peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) 2002 di Universitas 17 Agustus 1945 merasakan keberagaman, 15-16 Oktober 2022.
GAIRAH dan wajah-wajah cerah tersebut sudah terasa di Stasiun Wonokromo, Sabtu, 15 Oktober 2022. Ada 19 orang yang berkumpul pagi itu. Mereka sudah siap dengan tas perlengkapan masing-masing. Tak lupa, semuanya mengenakan kartu pengenal yang tergantung di leher dengan tapi berwarna merah. Tulisannya: Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya.
Ya, mereka adalah mahasiswa PMM 2022. Sejatinya, ada 141 mahasiswa yang mengikuti program tersebut di Untag Surabaya. Mereka terbagi menjadi tujuh kelompok. Nah, yang berkumpul pagi itu adalah Kelompok 2.
Para mahasiswa itu datang dari berbagai daerah di Indonesia. Komplet. Mulai Aceh hingga Papua. Agenda mereka adalah kegiatan kebinekaan. Sesuai namanya, pada kegiatan itu mereka akan belajar keragaman di Indonesia. Khususnya di Jatim. ’’Yang kami tuju adalah Museum Potehi Gudo di Kabupaten Jombang,’’ kata Yulian Ibra, mahasiswa Untag Surabaya yang menjadi mentor kelompok tersebut.
Dan kegembiraan para mahasiswa itu menyeruak bukan hanya karena mereka akan belajar kebinekaan dengan live-in atau tinggal di kompleks Kelenteng Hong San Kiong, Gudo. Tetapi, banyak di antara mereka yang belum pernah naik kereta api. Hanya dua orang yang pernah merasakan sepur.
Di antara mahasiswa itu ada Mario Yoseh Fransiskus Kaliling dari Universitas Sam Ratulangi Manado. Ia juga baru kali pertama naik kereta. Mario tampak begitu menikmati perjalanan. Ia sangat suka dengan posisi duduk kereta yang berhadap-harapan. Bisa bercengkerama dengan kawan-kawan lain yang juga tampak enjoy. ’’Ketepatan waktu berangkat kereta ini sangat bisa diapresiasi,’’ ungkapnya.
Sejatinya, perjalanan mereka kali itu bukan sekadar menuju kota lain. Tetapi seperti perjalanan memasuki lorong waktu, menuju seabad silam.
Budiono (kiri), seniman ukir, mengajari mahasiswa PMM Untag teknik membuat kepala boneka wayang potehi.-Miftakhul Rozaq-Harian Disway-
Itu terasa ketika para mahasiswa tersebut sampai di Museum Potehi Gudo, di Kecamatan Gudo yang terletak sekitar 10 kilometer di selatan pusat Kabupaten Jombang.
Di sana, mereka langsung belajar tentang wayang potehi, kesenian khas Tionghoa yang menjadi bagian dari peribadatan umat kelenteng.
Wayang potehi di Gudo mulai tercatat dengan rapi sejak kedatangan Tok Su Kwie, pemuda perantau dari Quanzhou (泉州), Fujian, Tiongkok, sekitar 1920-an. Tok Su Kwie adalah seorang dalang wayang potehi. Ia merantau dengan beberapa kawannya yang seniman wayang. Komplet dengan boneka wayang dan jae lo (panggung wayang potehi) asli dari Tiongkok.
Beberapa peninggalan Tok Su Kwie masih tersimpan rapi di Museum Potehi Gudo. Tak heran, pemilik museum tersebut adalah Toni Harsono, cucu Tok Su Kwie.
Toni menerangkan bahwa potehi berasal dari kata pou (kain), te (kantong), dan hi (wayang). Jadi secara harfiah, potehi berarti boneka kantong. Dalam bahasa mandarin, wayang itu disebut bu dai xi.
Toni Harsono memang mendirikan museum itu sebagai bentuk kecintaannya pada wayang potehi. Sebab, ia bukan dalang. Lelaki kelahiran 6 Juli 1969 itu tidak boleh menjadi dalang oleh Tok Hong Kie, ayahnya. Padahal, ayah Toni adalah dalang.
Menurut sang ayah, kehidupan seniman wayang potehi itu mirip bonekanya. Terlihat gagah dan berwibawa saat dimainkan, tetapi akan berubah menjadi onggokan kain, lesu, saat tidak di panggung.
Ya, sampai saat ini, kehidupan seniman wayang potehi memang belum menjanjikan. Belum bisa sepenuhnya menjadi sandaran hidup. Itu diakui oleh Widodo Santoso, dalang kelahiran Blitar, 23 Oktober 1972. Tetapi, Widodo yang belajar mendalang sejak 1993 itu sudah cinta mati pada wayang potehi.
Padahal, ia bukan Tionghoa. Begitu juga para seniman dan pemusik yang menemaninya tampil di depan mahasiswa siang itu. Seluruhnya Jawa. "Saya menjadi seniman dan tetap menjadi seniman sampai sekarang karena sudah jatuh cinta pada potehi," ucap Widodo.
Perpaduan kesenian Tionghoa dengan para seniman dari Jawa itulah salah satu kebinekaan yang dirasakan oleh para mahasiswa itu. Di hari kedua, Minggu, 16 Oktober 2022, misalnya. Para mahasiswa itu juga berdialog dengan pemahat boneka wayang potehi. Yakni, Mulyono dan Budiono. Keduanya juga orang Jawa. Tetapi masih telaten membuat kepala-kepala boneka wayang potehi yang aslinya datang dari Tiongkok tersebut.
Penjelasan dari pengurus Kelenteng Hong San Kiong, Gudo, Jombang, sebelum mahasiswa menyantap lontong cap go meh.-Miftakhul Rozaq-Harian Disway-
Kebinekaan dan peleburan tradisi itu juga dirasakan para mahasiswa ketika makan malam. Menunya istimewa: lontong cap go meh. Inilah makanan yang biasanya dihidangkan pada perayaan Cap Go Meh, atau 15 hari setelah tahun baru Imlek.
Makanan itu berwujud sayur lodeh yang dimasak dengan santan, ayam, dan bubuk kedelai yang gurih. Catherine, salah seorang pengurus kelenteng; bersama Dyah, sang juru masak, menjelaskan bahwa masakan itu bukanlah masakan khas Tiongkok. Bahkan di negara Tiongkok pun tidak ada. Namun, lontong cap go meh menjadi kuliner khas peranakan Tionghoa di Indonesia.
Lontong Cap Gomeh adalah bentuk akulturasi oleh etnis Tionghoa terhadap masakan Nusantara. “Entah siapa yang memengaruhi dan siapa yang dipengaruhi,” terang Catherine.
Ya, selama dua hari itu, para mahasiswa tersebut tidak hanya belajar kebinekaan. Tetapi mereka merasakan langsung kebinekaan itu. Anak-anak muda dari berbagai etnis dan agama itu bahkan tinggal semalam di kompleks kelenteng. Tempat tidur mereka bersebelahan dengan ruang-ruang peribadatan yang biasa digunakan oleh umat Kelenteng Hong San Kiong. Sungguh, dua malam yang bakal dikenang dalam waktu yang lama… (Tira Mada)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: