Finalis Cici Jatim Kenakan Dress dari Kain Gendongan, Bukti Akulturasi Budaya

Finalis Cici Jatim Kenakan Dress dari Kain Gendongan, Bukti Akulturasi Budaya

DENGAN CERMAT, Dian Dudiono merapikan aksesori pada kerah busana finalis Cici Jatim 2022 Genio Septimary saat pemotretan di studio Ballet Posture di Surabaya Barat, Sabtu, 5 November 2022. -praska bramasta-harian disway-

SURABAYA, Harian Disway - Siang itu, Sabtu, 5 November 2022, Dian Dudiono sibuk sekali. Di studio Ballet Posture milik dia, berkumpul 24 finalis Koci Jatim 2022. Para cici bakal mengenakan dress rancangan dia. Alhasil, Dian hilir mudik meluruskan posisi busana, memasang aksesori, dan membantu para cici membetulkan riasan.

Dian menjadi salah seorang perancang busana Koci Jatim sejak 2021. Tepatnya ketika Helena Aprilia, puteri dia, menjadi kontestan Koci edisi itu. ’’Ketika Koci 2021, saya juga membuatkan desain baju dari bahan kain gendongan bayi. Sama seperti yang dipakai finalis untuk pemotretan Sabtu lalu,’’ jelas Dian, ketika ditemui Senin, 7 November 2022.


ANGGUNNYA Dian Dudiono mengenakan dress kain gendongan rancangannya sendiri. Dia memadukan maxi skirt dengan tank top brokat.-Julian Romadhon-Harian Disway-

Pada final Koci Jatim edisi tahun lalu, baju berbahan kain gendongan tersebut bahkan dikenakan oleh Dahlan Iskan, founder Harian Disway, beserta istri. Dahlan memakai kemeja berwarna merah bermotif naga. Sedangkan sang istri, Napsiah Sabri, memakai bawahan dari bahan gendongan. Dipadu atasan berbahan kain brokat berwarna orange. ’’Saya surprised. Ternyata beliau berdua datang mengenakan pakaian karya saya,’’ kenang Dian bangga.

Menurut dia, kain gendongan adalah bentuk akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Dibuat dengan teknik membatik. Menggunakan motif-motif Tionghoa seperti ornamen atau objek-objek hewan dan tumbuhan. Seperti naga, suangsi (simbol kebahagiaan), teratai, ayam, burung hong, dan sebagainya.


DIAN DUDIONO (tengah) berpose dengan para finalis cici yang mengenakan dress dari kain gendongan (atas). -Nadine Churnia Putri-Harian Disway-

Awalnya, dia saya membuat dan menjahit baju kain gendongan untuk dikenakan sendiri. Tapi ketika dipresentasikan Helena dalam ajang Koci Jatim 2021, banyak yang tertarik. Akhirnya, pengurus Koci Jatim sering menggunakan pakaian itu dalam berbagai acara non-formal.

Dian menganut prinsip zero waste dan minimalist cutting dalam mendesain busana. ’’Artinya, bahan kain saya manfaatkan semua. Sisa potongan dijadikan hiasan. Seperti bunga, rumbai-rumbai dan aksen-aksen tempelan,’’ jelas perempuan 52 tahun itu.

Ajang Koci sangat kental dengan budaya Tionghoa, serta bentuk-bentuk akulturasinya dengan budaya lokal Nusantara. Agar makin unik, pada beberapa dress, Dian membubuhkan aksen berupa aksara Mandarin di bagian dada. "Ini maknanya adalah persatuan. Sebagai duta budaya Tionghoa dan Jawa Timur, kami harap finalis Koci dapat mendamaikan, mempersatukan,’’ jelas Dian.

Dian memiliki beberapa desain baju berbahan gendongan lain. Seperti yang dia kenakan kemarin. Dia tampak anggun dengan bawahan kain gendongan warna merah marun dan atasan tanpa lengan dari brokat. Di bagian dada terdapat ornamen aksara Mandarin. Dan di bawah ornamen itu, terpasang aksesori fringe yang dibuat dari sisa potongan kain. ’’Untuk pemanis saja,’’ ujar Dian.


Audrey Hanley mengenakan kain gendongan berpose dengan barongsai.-Nadine Churnia Putri-Harian Disway-

Sementara itu, dalam sesi foto Sabtu lalu, para finalis Koci Jatim 2022 dapat berinteraksi dengan para pemain Barongsai Ksatria. Kelompok barongsai yang bermarkas di daerah Kenjeran, Surabaya itu menerangkan filosofi barongsai. Sebab, beberapa finalis masih awam dengan tradisi tersebut. Mereka menikmati pementasannya. Tapi belum mempelajari maknanya secara mendalam.

Kevin Christian, koordinator Barongsai Ksatria menjelaskan, pada zaman dahulu, pertunjukan barongsai selalu dimainkan saat Imlek. ’’Tarian itu diyakini mampu memberikan berkat dan menolak bala atau energi negatif. Untuk menyucikan suatu tempat,’’ ujarnya.

Ia menunjukkan beberapa pedoman dalam memperlakukan barongsai. Salah satunya, tidak boleh memegang mata, bola-bola di atas hidung, serta tanduk. Barongsai juga tak boleh diletakkan di atas tanah tanpa alas. ’’Kami memerlakukan layaknya mahluk hidup. Karena barongsai-barongsai ini sudah di-thiam atau disucikan,’’ kata pria 26 tahun itu.

Sama seperti jika manusia disentuh mata. Pasti akan kesakitan. Jika disentuh kepala bagian atas, maka sama saja melanggar etika kesopanan. ’’Begitulah filosofi barongsai. Ada aturan-aturan tertentu yang harus dipahami para pemainnya,’’ ungkapnya. Para finalis lantas asyik mengeksplorasi pose bersama barongsai. Namun, tetap memperhatikan etika-etikanya. (*)



CALISTA LEA JAYA mengenakan maxi skirt dari kain gendongan berpose dengan barongsai.-praska bramasta-harian disway-

Sumber: