Sebut Nama

Sebut Nama

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

PALING TIDAK, sudah tiga kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan kode calon presiden mendatang. Tapi, yang terakhir, dengan kapasitas presiden, harusnya tak perlu sampai menyebut nama.

Di acara Perindo, Jokowi langsung menyebut nama Prabowo Subianto. Mantan rivalnya yang kini menjadi anak buahnya di kabinet. ”Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo,” kata Jokowi yang disambut riuh hadirin.

Sebelumnya, Jokowi menceritakan dirinya sudah memenangkan pilwali Solo dua kali, pilgub Jakarta satu kali, dan pilpres dua kali mengalahkan Prabowo. Mendengar itu, Prabowo  yang juga hadir langsung memberikan hormat. 

Seharusnya, sebagai presiden, Jokowi bisa menahan diri. Tidak perlu menyebut nama. Sebab, apa pun yang diucapkan presiden akan sangat berpengaruh terhadap institusi negara dan pemerintahan.

Dalam sistem Indonesia yang presidensial, semuanya berpusat ke presiden. Pasalnya, presiden itu kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, presiden mengendalikan alat negara seperti militer dan kepolisian. Bahkan, menjadi panglima tertinggi militer.

Di sisi lain, sebagai kepala pemeritahan, presiden mengendalikan seluruh lembaga pemerintahan dan proses birokrasinya. Dan tentu, mengendalikan para menteri. 

Yang menjadi persoalan, kita ini menganut sistem pemilihan langsung. Rakyat langsung coblos. Tentu kita tidak ingin lembaga negara dan instrumen pemerintah itu ikut terpengaruh. Yang membuat mereka tidak dalam posisi netral.

Memang aturan sudah jelas, militer, polisi, dan birokrat harus netral. Tidak boleh memihak salah seorang calon. Itu akan menjadi persoalan bila para operator lembaga negara dan instansi pemerintah tersebut  menafsir ucapan presiden sebagai dukungan.

 Dan lebih berbahaya lagi, apabila ada yang menerjemahkan secara berlebihan sebagai perintah. Di semua negara, bila aparatur melakukan mobilisasi dalam pemilu, demokrasi akan suram.

Lain halnya bila kita menganut sistem pemilihan tidak langsung. Pemilihan presiden yang dilakukan anggota parlemen. Yang beramain di sini lobi politik. Tapi, idealnya, pemilihan anggota parlemen juga harus demokrasi. 

Zaman Orde Baru (Orba), presiden ditentukan parlemen. Di sana Presiden Soeharto sangat dominan. Belum pemlihan, pemenang sudah ada. Tapi, kita tentu tak mau kembali ke sistem tersebut.

Dalam sistem parlementer, yang dipilih parlemen adalah kepala pemerintah (PM/perdana menteri). Parlemen bisa memberikan mosi tidak percaya yang membuat pemerintah jatuh. Dalam sistem itu, alat negara seperti militer berada di bawah kepala negara,  terpisah dengan pemerintahan. Namun, akibatnya juga militer melakukan kontrol yang ujungnya kudeta.

Selama ini Jokowi sudah beberapa kali memberikan isyarat dukungan. Pada 2020, di acara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Isyaratnya saat itu tidak menyebut nama, tapi banyak yang menerjemahkan mengarah ke Sandiaga Uno

Lantas, saat bicara di depan pendukungnya, Projo, di Magelang. Saat itu ia meminta pendukungnya tidak buru-buru menentukan capres yang didukung. Namun, ia menyebutkan siapa tahu calonnya ada di antara yang hadir. Orang pun menerjemahkan ke arah Ganjar Pranowo yang hadir di acara itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: