Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (4): Toilet Lelah
PENUMPANG Xiamen Air bersiap masuk ke pesawat sebelum terbang ke Tiongkok. -Novi Basuki-Harian Disway-
KERUWETAN untuk bisa terbang ke Tiongkok ternyata belum selesai. Sebelum boarding, rupanya masih ada satu formulir yang harus kami isi online: health declaration.
Kami baru tahu ini setelah petugas yang menunggu di gate menanyakannya. Kami kalang kabut. Buru-buru kami mengisinya, sementara penumpang lain sudah masuk pesawat semua –sehingga menyisakan kami berempat sebagai penumpang terakhir yang masih tertahan di luar.
Untungnya, dua petugas datang membantu kami. Pengisian jadi makin cepat.
Formulir yang sudah terisi kemudian di-submit dan langsung jadi QR code. Nanti, begitu mendarat di Tiongkok, barcode-nya akan di-scan untuk kepentingan serangkaian monitoring kesehatan sejak menginjakkan kaki di sana.
BACA JUGA:Catatan Perjalanan ke Tiongkok Saat Pandemi (3): Positif Batal
Di pesawat, pramugari dan pramugaranya pakai APD lengkap dengan kaus tangan dan kacamata medisnya. Makanan pun ditaruh duluan di kursi sebelum kami masuk. Praktis tak ada kontak fisik sama sekali. Benar-benar seperti menangani pasien Covid.
Saya yang sudah lama tidak merasakan takut ke Covid sebagaimana di awal-awal kemunculannya, jadi terbawa kembali ke suasana mencekam ketika doeloe pemerintah masih gencar mengumumkan kenaikan angka orang-orang yang terkena dan mati karena Covid saban harinya.
Saya coba menenangkan diri dengan menonton film. Pak Yusuf dan Pak Amal yang duduk di depan saya pun begitu. Pak Rois yang berada di sebelah saya tampak masih sedih memikirkan Pak Kasnadi, kakaknya.
Tak ada yang kelihatan bahagia. Saya yang mulanya girang karena bisa ke Tiongkok lagi setelah tiga tahun lebih tidak ke sini, malah mulai merenungkan kata-kata "hujan emas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri". Apalagi kalau batunya mengandung emas. Opo tumon. Ketimbang mengkhayal, mending saya tunaikan hajat yang sudah saya tahan sedari tadi.
Saya memang punya kebiasaan buruk kalau naik pesawat dan kebagian tempat duduk di sebelah jendela: menahan buang air. Saya merasa kurang enak ke orang di sebelah saya dan sebelahnya lagi, yang mungkin pas lagi enak-enaknya istirahat, eh malah saya interupsi untuk sekadar memberi jalan kepada saya yang ngempet pipis.
Tapi, hasrat buang air yang ditahan terlalu lama, justru akan membahayakan diri sendiri. Bukan batu emas yang didapat, melainkan batu ginjal.
Makanya, saya pilih menuntaskannya. Supaya bisa tidur setelahnya. Ewuh pakewuh tak akan menyelesaikan masalah.
"Nomor kursi berapa?" tanya pramugara ber-APD lengkap yang duduk menunggu di kursi sebelah toilet, mengagetkan saya yang sudah kadung mau buka pintunya.
Karena tak ingat, saya balik lagi ke deretan kursi saya untuk melihat nomornya. Baru kali ini saya menemui maskapai yang mencatat nomor kursi orang-orang yang menggunakan toiletnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: