Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (8): Hari Pembebasan

Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (8): Hari Pembebasan

Amal Ghozali dan Rois bersiap meninggalkan pusat karantina di Tiongkok.-Foto: Novi Basuki-Harian Disway-

Swab hari terakhir beda dengan biasanya. Tidak hanya ambil sampel lendir dari kerongkongan, tapi gagang pintu, tas, bantal, dan selimut juga turut diusap-usap menggunakan tes kit yang kayak cotton bud itu.

Saya tegang, sekaligus merasa Tiongkok ini terlalu parnoan. Bayangkan, pernah suatu ketika bahkan sampai ikan-ikan yang baru ditangkap dari lautpun tak luput dari sasaran swab.

Saya kirim pesan WeChat ke Mr Wang, kolega yang akan menemani kami setelah keluar dari karantina, tentang peralatan tidur yang baru di-swab ini. ”Itu bentuk kepedulian negara terhadap nyawa rakyatnya,” tulisnya.

”Bukannya saya membela Partai Komunis. Tapi faktanya, sulit mencari pemerintah yang sebegitu pedulinya terhadap keselamatan rakyatnya dibandingkan dengan pemerintah Tiongkok,” tambahnya.

Saya jadi teringat salah satu postingan yang viral di Weibo, Twitter-nya Tiongkok, waktu Covid baru merebak di Wuhan. “隔离, 人权没了; 不隔离, 人全没了。隔离, I see you; 不隔离, ICU”. Yang dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris: “Quarantine, no human right; No quarantine, no human left. Quarantine, I see you; No quarantine, ICU”.

Itu sengaja dipakai netizen Tiongkok sebagai ”serangan balik” terhadap negara-negara Barat yang selalu mencibir Tiongkok tidak memedulikan HAM –lantaran mengarantina rakyatnya secara paksa. 

Bagi pemerintah Tiongkok, saat pandemi begini, HAM yang paling utama adalah kesehatan, bukan kebebasan. Dengan kerangka pikir demikian, mengorbankan kebebasan segelintir orang untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa manusia, adalah hal yang patut dilakukan. 

Kendati, belakangan mulai ada riak-riak yang menentang kebijakan zero-Covid yang dijalankan Xi Jinping. Namun, tetap tidak bisa dibantah bahwa, dengan kebijakan zero-Covid, Tiongkok menjadi negara yang paling sedikit warganya terkena atau mati karena pagebluk ini.

Kami pun memaklumi. Mengurus negara dengan penduduk miliaran jelas bukan perkara mudah. Yang penting, besok kami sudah bisa keluar dari pusat karantina dan langsung berangkat ke Taizhou, Zhejiang, untuk menggelar meeting maraton. Waktu sudah sangat mepet. Cuma menyisakan tiga hari dari agenda kami yang dua minggu di Tiongkok.

Padahal, kami yang mulanya mengira hanya akan dikarantina seminggu, masih akan ke Shandong, Tiongkok bagian timur laut di mana filsuf besar Konfusius dilahirkan dan dimakamkan. Bukan untuk ziarah, tapi untuk membahas kerja sama perikanan tangkap dengan perusahaan perikanan terkemuka di sana. 

Rencana itu batal karena terbatasnya waktu akibat karantina tak terduga yang 10 hari ini. Apa boleh buat, sisa waktunya kami fokuskan untuk rapat beruntun di Taizhou saja.

Mr Wang yang asli Shandong juga menyarankan begitu. Sebab, tidak akan keburu kalau masih akan ke kampung halamannya. Ia membelikan kami tiket kereta cepat dari Fuzhou ke Taizhou. Yang membutuhkan waktu 2 jam 45 menit ke arah utara untuk sampai.

Pak Yusuf dan Pak Amal sebenarnya ingin naik mobil ke sana. Khawatir kalau naik kendaraan umum akan lebih mudah terpapar korona. Tapi, karena waktu yang mepet, keinginan ini mereka urungkan. Apalagi, kami sudah kadung nekat ke Tiongkok di masa kebijakan zero-Covid begini. “Meski nekat dan bodoh beda-beda tipis,” seloroh Pak Yusuf.

Untungnya, hasil swab kami tetap negatif. Alamat besok bakalan menghirup alam bebas beneran. Cepat-cepat saya bereskan koper untuk selanjutnya tidur buat menyambut hari pembebasan. Tak peduli sekalipun petugas karantina mewanti-wanti kami baru bisa keluar bakda jam 10 pagi.

Pukul 7 esok harinya, Pak Yusuf video call. Mengabari saya sudah siap untuk dikerahkan keluar karantina, sambil menepuk-nepuk koper hitamnya yang juga sudah siap digeret.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: