Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Merasakan Cultural Genocide (87)

Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Merasakan Cultural Genocide (87)

MENGHIBUR ORANG Belanda lewat music DJ Juni 2022. Jean-Luc memakai nama panggung Kaki Tiga_-Dok Jean-Luc-

Ada tembok besar yang membuat Jean-Luc tak mau mencari keluarga kandung nyaris seumur hidupnya. Pria 40 tahun itu selalu mengidentifikasi dirinya sebagai orang Eropa. Namun, setahun terakhir ia menyadari bahwa dirinya adalah korban cultural genocide (genosida budaya).

YOU know, it’s cultural genocide (Kamu tahu, ini adalah genosida budaya, Red),” kata Jean-Luc pada pertemuan pertama kami di Hotel 88, Jalan Embong Malang, Surabaya, 7 November 2022. 

Saya tertarik dengan frasa cultural genocide itu. Terus terang baru kali pertama mendengarnya. Saya tanyakan lebih lanjut apa maksudnya.

Pada 1982 Jean-Luc dipisahkan dengan ibu kandungnya: Rohani. Proses adopsi itu ternyata tak hanya memisahkan hubungan anak dengan orang tuanya. Atau keluarga kandungnya. Ada hal yang lebih dalam dari itu.

Jean menyadarinya setahun terakhir. Terutama setelah mengenal aktivis berdarah Belanda-Suriname: Christa Wongsodikromo. Dia  telah menemukan keluarga sang buyut di Jawa Tengah.

Sangat penting untuk terkoneksi dengan tanah kelahiran. Semasa hidup, Jean selalu menghindari hal tersebut. Ia ingin melebur dengan orang-orang Belanda. Atau orang Eropa pada umumnya.

Makanya, Jean selalu mengatakan ”iya” ketika ada yang tanya apakah dirinya orang Belanda?

Jean menjadi seorang DJ untuk mendapat pengakuan dari lingkungannya. Dengan begitu, ia lebih mudah membaur dengan orang-orang dari Benua Biru. Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak orang Eropa menganggap ras lain lebih rendah.


MUSIK DJ yang digeluti Jean-Luc membuatnya merasa lebih diterima dan berbaur dengan orang-orang Belanda.-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Kini Jean tak mau diidentifikasi sebagai orang Belanda. Kalau ada yang tanya asal-usulnya, Jean kini dengan bangga mengatakan bahwa dirinya orang Indonesia. 

Saat itulah ia menyadari sudah jadi korban genosida budaya. Bertahun-tahun Jean tak menyadari bahwa ia dipisahkan dari tanah kelahirannya.

Saya mencari tahu apa itu genosida budaya dari berbagai artikel di internet. Rupanya konsep itu muncul pada 1944 dari pakar hukum asal Polandia Raphael Lemkin. 

Istilah tersebut tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Masyarakat Adat. Kata itu lantas diganti dengan istilah etnosida. Namun, istilah kembali direvisi dengan kata genosida. 

Salah satu diktum deklarasi PBB itu menyebutkan: Masyarakat adat memiliki hak kolektif untuk hidup dalam kebebasan, kedamaian, dan keamanan sebagai sesuatu yang berbeda

bangsa dan tidak akan dikenakan tindakan apa pun genosida atau tindakan kekerasan lainnya, termasuk memindahkan paksa anak-anak dari kelompok tersebut ke kelompok lain.

Istilah genosida budaya itu juga ramai diperbincangkan di Kanada dan Amerika Serikat tahun lalu. Direktur North American Council on Adoptable Children (NACAC) Mary Boo mengungkap ratusan kematian di sekolah dan asrama yang digunakan pemerintah Kanada dan AS untuk memisahkan penduduk adat dengan budaya mereka.

Kasus itu berlangsung 150 tahun lamanya. Anak-anak dipisahkan dari sukunya untuk mendapatkan pendidikan dan kehidupan dengan standar ”orang modern”.

Investigasi sedang dilakukan. Sebab, banyak anak-anak meninggal di sekolah dan asrama itu.


MERAH PUTIH berkibar di samping Jean-Luc saat berkunjung ke Disway News House Surabaya 8 November 2022.-David Ubaydullah/Harian Disway-

Pada Mei 2021, Tk'emlúps te Secwépemc Nation British Columbia mengumumkan penemuan 215 mayat siswa di dekat Kamloops Indian Boarding School. 

Pada Juni, Cowses First Nations (CFN) menemukan 751 kuburan tak bertanda di dekat Sekolah Residen Marieval Indian di Saskatchewan. 

Seorang mahasiswa doktoral juga menemukan 222 mayat di Chemawa Indian School Cemetery di Salem, Oregon. Di Michigan, peneliti Indian Chippewa mendokumentasikan 229 kematian siswa di pegunungan. 

Tragedi itu bukan hanya tentang kematian yang tidak perlu. Anak-anak itu juga kehilangan bahasa dan budaya mereka. Penyintas dari sekolah dan asrama tersebut kini hidup dalam trauma.

Itulah yang dimaksud Jean. Ia dipisahkan dari kultur Indonesia lewat jalur adopsi. Televisi Belanda menayangkan potongan video tentang anak-anak busung lapar di Afrika dan Asia. Mereka perlu dibantu dan dibawa ke Eropa untuk mendapatkan kehidupan lebih baik.

Nyatanya, yang diadopsi bukanlah anak-anak seperti yang tergambar di video itu. Orang tua angkat pergi ke Indonesia mencari tempat penitipan anak. 

Mereka memilih anak dengan kondisi fisik terbaik. Bak membeli apel paling bagus di supermarket. ”Kami hanya dianggap sebagai objek yang bisa dibeli. Bukan sebagai manusia,” ujar Jean. (Salman Muhiddin)

Menyerahkan Semua Peninggalan KNIL. BACA BESOK!

 

Sumber: