Begal Nyaris Mbacok, lalu Dor...
-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Sebaliknya, korban kasus itu, yang tangannya sudah dicelurit nyaris putus, pasti beda pendapat dengan suara publik yang menuntut HAM. Penuntut HAM untuk bandit yang melanggar HAM.
Banyak polisi baik. Bertugas mengamankan warga. Jauh lebih banyak polisi baik daripada yang buruk. Jika tidak, Indonesia sudah morat-marit oleh bandit.
Polisi berprestasi, contohnya Tito Karnavian (kini Mendagri). Pada 2001 ia memimpin tim menyergap Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), putra bungsu mantan Presiden Soeharto. Tersangka pembunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.
Waktu itu Tito berpangkat komisaris. Memimpin tim bersandi Kobra. Menyergap Tommy. Tindakan yang sangat berani untuk ukuran tahun 2001.
Atas keberhasilan tersebut, Tito mendapat hadiah kenaikan pangkat luar biasa menjadi ajun komisaris besar polisi (AKBP).
Pada 2004, terorisme marak di Indonesia. Dibentuklah Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88). Pembentuknya Kapolda Metro Jaya saat itu, Irjen Firman Gani. Tito Karnavian ditunjuk sebagai Kepala Densus 88. Anggotanya 75 orang.
Pada 9 November 2005 Densus 88 pimpinan Tito menyergap persembunyian teroris asal Malaysia, Dr Azahari. Lokasi di sebuah rumah di Kota Batu, Malang, Jatim. Terjadi tembak-menembak tujuh jam sejak siang sampai malam.
Kelompok Azahari, termasuk Azahari, tewas di dalam rumah itu. Peristiwa dramatis tak terlupakan bagi warga Kota Batu. Tidak ada yang protes soal pelanggaran HAM.
Pada 2 Januari 2007 tim pimpinan Tito meringkus 19 dari 29 teroris di Poso, Sulawesi Tengah. Pada 17 September 2009 tim itu juga menembak mati teroris Noordin M. Top di Solo.
Tito akhirnya ditunjuk jadi Kapolri, kini Mendagri.
Anggota Polri, seperti Sambo dan banyak lagi, bisa salah. Anggota Polri datang dan pergi, direkrut dan pensiun, sepanjang waktu. Pastinya di antara mereka ada yang bertabiat buruk. Tapi, Polri sangat dibutuhkan rakyat. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: