Operasi Tangkap Tangan

Operasi Tangkap Tangan

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

”BERI saya 100 peti mati, 99 untuk koruptor dan satu untuk saya kalau saya melakukan korupsi.”

Ungkapan itu begitu terkenal di seluruh dunia dan menjadi jargon antikorupsi paling kuat dan paling dihafal di seluruh dunia. Semua tahu, kalimat tersebut diungkapkan pemimpin Tiongkok Zhu Rongji ketika dilantik pada 1998. 

Sejak itu, perang melawan korupsi menjadi salah satu program utama pemerintah Tiongkok. Ibaratnya, hari antikorupsi diperingati dan diterapkan setiap hari di Tiongkok, bukan setahun sekali seperti di bagian dunia lainnya, termasuk di Indonesia.

Pemberantasan korupsi di Indonesia maju mundur. Kadang maju, kadang mundur, tapi lebih sering mundur. Komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi diragukan banyak pihak. 

Tonggaknya terjadi ketika pemerintah merevisi Undang-Undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada 2019. Ketika itu terjadi unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota besar di Indonesia. Tapi, unjuk rasa tersebut tidak berpengaruh. DPR pun tetap mengesahkannya.

Betapa komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia maju mundur bisa dilihat dari polemik yang terjadi beberapa hari terakhir. Polemik itu bermula dari pidato Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 yang digelar KPK dan sejumlah kementerian/lembaga lainnya pada Selasa (20/12). 

Awalnya, Luhut memaparkan upaya pemerintah dalam melakukan digitalisasi di berbagai sektor. Menurutnya, digitalisasi mampu menekan praktik kecurangan, termasuk korupsi. Jika upaya itu berhasil, intensitas KPK dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT) akan berkurang. Hal itu dinilai penting lantaran menurut Luhut OTT tak bagus buat citra negara. 

Sehari kemudian, pernyataan Luhut dimentahkan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Menurutnya, OTT masih dibutuhkan untuk menindak kejahatan korupsi. OTT diperlukan sepanjang pendidikan dan pencegahan korupsi belum maksimal. Kalau itu masih belum berhasil, akibatnya akan ada penindakan.

Namun, pernyataan Luhut itu mendapat pembelaan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Mahfud mengatakan, tak ada yang salah dengan ucapan Luhut. Daripada selalu dikagetkan oleh OTT, lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tidak ada celah korupsi. 

Kalau di antara wakil presiden dan dua menteri koordinator saja beda pendapat, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi di Indonesia punya arah dan haluan yang jelas. Presiden Joko Widodo sulit diharapkan bisa menengahi persilangan pendapat di antara anak buahnya seperti itu. Alih-alih, Jokowi lebih suka menghindar dan menghilang.

Pernyataan terbaru Luhut Pandjaitan menunjukkan lemahnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Cara berpikir dan mentalitas Luhut masih sangat kental terpengaruh ciri-ciri rezim Orde Baru, yang menoleransi korupsi yang ”terkendali”. Di era Orde Baru, korupsi menjadi penyakit sistemik yang ditoleransi dan bahkan diatur distribusinya oleh rezim.

Pendapat Luhut bahwa nama Indonesia bisa jelek di mata internasional karena banyak OTT bertolak belakang dengan realitas empiris di dunia internasional. Tidak usah jauh-jauh, lihatlah jiran kita Malaysia, Singapura, Hongkong, maupun Tiongkok.

Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menjadikan pemberantasan korupsi dan pemerintahan yang bersih sebagai target utama. Anwar mencontohkan ”leading by example”, memimpin dengan memberikan contoh. Ia menolak menerima gaji dan tidak memakai mobil dinas yang mewah. Dengan memberikan contoh semacam itu, seluruh jajaran pemerintahan bisa menunjukkan komitmen yang kuat yang dimulai dari diri sendiri.

Singapura sudah khatam dengan urusan pemberantasan korupsi. Thanks to mendiang Lee Kuan Yew yang memberikan contoh dengan keras dan tegas dalam komitmen pemberantasan korupsi. Singapura selalu berada pada tiga besar negara dengan indeks korupsi paling rendah di seluruh dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: