Empati terhadap Korban Kekerasan Seksual di Kampus
-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
UNIVERSITAS AIRLANGGA bebas dari kekerasan seksual. Deklarasi yang menjamin lingkungan kampus bebas dari semua bentuk tindak pelecehan dan kekerasan seksual itu dicanangkan Prof Bambang Sektiari Lukiswanto selaku Wakil Rektor Bidang Akademik, Mahasiswa, dan Alumni Universitas Airlangga untuk merespons situasi darurat kekerasan seksual yang belakangan ini makin meresahkan.
Bukannya menjadi ruang yang aman dari berbagai ancaman kekerasan seksual, di berbagai kampus di tanah air tidak sekali-dua kali terjadi kasus pelecehan dan tindak kekerasan seksual yang dilakukan dosen maupun mahasiswa kepada insan kampus, khususnya perempuan.
Disadari bahwa tindak kekerasan seksual adalah ancaman yang benar-benar nyata di lingkungan kampus. Tanpa adanya kesepahaman yang solid di antara pimpinan kampus, dikhawatirkan tindak kekerasan seksual akan menyebabkan korban tidak tertangani dengan baik, bahkan bukan tidak mungkin justru diperlakukan layaknya pesakitan.
Untuk meningkatkan wawasan, kewaspadaan, dan mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual di kampus, pada 5 Januari 2023 Universitas Airlangga menggelar acara Sosialisasi Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Ruang 301 Gedung Kahuripan, Kampus C Universitas Airlangga. Acara sosialisasi khusus dihadiri sejumlah pimpinan Universitas Airlangga. Mulai wakil rektor, para dekan, ketua badan atau lembaga, hingga pimpinan lain di lingkungan Universitas Airlangga.
Kesulitan
Inisiatif untuk mencegah tindak kekerasan seksual di kampus sebetulnya sudah dimulai sejak Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 disahkan. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi itu menandai keseriusan perguruan tinggi untuk memberikan perlindungan yang optimal terhadap keselamatan dan keamanan seluruh insan kampus.
Tujuan utama dikeluarkannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 adalah membangun mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus atau perguruan tinggi.
Berbeda dengan pandangan awam yang melihat kampus sebagai lingkungan yang steril dari tindak kekerasan seksual, realitas di lapangan sering kali berbalik 180 derajat. Di berbagai kampus di tanah air, seringnya terjadi tindak kekerasan seksual menjadi momok yang menghantui para mahasiswi dan insan kampus lainnya.
Dari survei yang dilakukan Kemendikbudristek pada 2020 tentang kasus kekerasan seksual, diketahui bahwa sekitar 77 persen dosen yang disurvei mengakui bahwa ada kejadian kekerasan seksual di lingkungan kampusnya, dan 63 persen di antaranya tidak berani melapor karena takut.
Sementara itu, data yang dikeluarkan Komnas Perempuan melaporkan, sepanjang 2015 hingga 2020, dari keseluruhan pengaduan tindak kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, sebanyak 27 di antaranya terjadi di lingkungan kampus. Bahkan, survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman menunjukkan sekolah maupun kampus ternyata menduduki urutan ketiga sebagai lokasi terbanyak terjadinya kekerasan seksual.
Artinya, jauh dari kesan bahwa kampus adalah ruang yang aman bagi para mahasiswa, ternyata hantu tindak kekerasan seksual merupakan ancaman yang serius dan membutuhkan pemecahan segera. Ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab kenapa tindak kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus.
Pertama, adanya relasi ketertundukan dan relasi kuasa yang menyebabkan mahasiswa atau dosen muda kerap dalam posisi yang subordinat. Selama ini, diakui atau tidak, tindak kekerasan seksual sebetulnya bukan hal yang baru. Di berbagai kampus, tindak kekerasan seksual kerap terjadi. Namun, para korban umumnya takut atau minimal enggan untuk mengadukannya karena mayoritas para korban tidak memiliki bargaining position yang sama dengan pelaku.
Kedua, korban mendapatkan intimidasi atau permintaan dari pihak-pihak tertentu agar tidak makin memperkeruh situasi. Dalam banyak kasus, korban umumnya takut atau tidak diperbolehkan melapor ke aparat penegak hukum karena ada intervensi hingga ancaman dari pihak lain. Biasanya, atas nama kepentingan menjaga reputasi atau nama baik lembaga, korban diimbau untuk tidak membawa kasusnya ke ranah hukum yang dikhawatirkan bisa mencemarkan nama baik perguruan tinggi tempat mereka belajar atau bekerja.
Ketiga, batasan tentang tindak pelecehan dan tindak kekerasan seksual sering kali masih kabur. Dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, pasal 5 ayat 2 poin l menyebutkan bahwa batasan tindak kekerasan seksual adalah”menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban”. Penekanan pada ada-tidaknya unsur consent atau persetujuan korban itu sempat menjadi polemik, dan bahkan dianggap melegalkan perzinaan.
Terlepas dari polemik yang sempat timbul, apa yang dimaksud dengan tindak kekerasan seksual memang sulit diidentifikasi dengan pasti. Sebab, tidak hanya jumlah kasusnya yang bertambah, tetapi jenis tindak kekerasan seksual itu sendiri juga makin beragam. Tindak kekerasan seksual tidak hanya berupa tindak pemerkosaan, tetapi juga tindak pelecehan lain seperti menyiuli korban, tindakan pegang-pegang anggota badan korban, merangkul tanpa izin, dan lain sebagainya.
Satuan Tugas
Pembentukan Satgas Kekerasan Seksual di kampus, menurut Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, harus dilakukan, terutama agar korban memiliki tempat pengaduan sekaligus mendapatkan perlindungan pasca pelaporan atas tindak kekerasan seksual yang dialami.
Per teori, satgas juga tidak hanya menjadi wadah konseling bagi para korban, tetapi juga dapat memberikan rujukan penyelesaian kasus.
Di berbagai kampus, Satgas Kekerasan Seksual umumnya telah terbentuk. Namun, itu bukan jaminan semua persoalan kekerasan seksual lantas bisa dianggap telah selesai. Selain pembentukan satgas, masalah lain yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan kepada korban bahwa Satgas Kekerasan Seksual bisa dipercaya dan menjadi sahabat yang baik bagi para korban.
Di banyak kampus, meski Satgas Kekerasan Seksual sudah dibentuk, operasionalnya belum memasyarakat di kalangan mahasiswa dan insan kampus lain karena kurangnya sosialisasi dan adanya ”jarak sosial” yang menghambat.
Kendala yang kerap dihadapi adalah para insan kampus, terutama mahasiswa umumnya, belum menyadari apa sebetulnya yang menjadi hak dan kepada siapa mereka dapat menggantungkan nasibnya ketika menjadi korban tindak kekerasan seksual.
Kekhawatiran yang selalu berkecamuk di benak korban biasanya adalah ketakutan akan menjadi tindak kekerasan seksual tahap kedua maupun tahap ketiga ketika mereka harus menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya dan ketika mereka harus menghadapi pandangan sinis dari orang-orang di sekitarnya akibat tindak kekerasan seksual yang dialaminya.
Tanpa adanya kepedulian dan empati semua pihak terhadap nasib korban, jangan harap upaya yang dilakukan Satgas Kekerasan Seksual dapat dipercaya dan menjadi sahabat bagi para korban. (*)
*) Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga
**) Dekan FISIP Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: