Series Jejak Naga Utara Jawa (4): Geger Pecinan Sampai Orde Baru

Series Jejak Naga Utara Jawa (4): Geger Pecinan Sampai Orde Baru

Diskusi Azmi Abubakar (kanan) dengan tim Harian Disway di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Serpong, Tangerang Selatan. -FOTO: YULIAN IBRA-HARIAN DISWAY-

Itu terbukti dari banyaknya karya sastra berbahasa Melayu yang dilahirkan oleh orang-orang Tionghoa pada abad ke-19 dan ke-20. ’’Ini juga saya koleksi,’’ kata Azmi. Yang ditunjuk adalah buku dengan punggung berwarna merah. Buku baru. Judulnya: Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Berjilid-jilid. ’’Komplet,’’ ujar lelaki kelahiran 3 Maret 1972 tersebut.

Itu adalah kumpulan karya sastra dari penulis Tionghoa sejak akhir abad ke-19. Sampai akhirnya muncul Balai Pustaka, yang diklaim sebagai tonggak awal kesusastraan Indonesia. Padahal, sebelum Balai Pustaka lahir, sudah ada ribuan karya yang dihasilkan oleh pengarang Tionghoa. Mereka tidak dimasukkan sebagai pionir kesusastraan Indonesia. Salah satu alasannya, pengarang Tionghoa memakai bahasa Melayu pasar atau Melayu rendah. Berbeda dengan sastrawan Balai Pustaka yang menulis dengan bahasa Melayu tinggi.


KOLEKSI berharga tentang sejarah peranakan Tionghoa di museum Azmi. -FOTO: YULIAN IBRA-HARIAN DISWAY-

Meski begitu, karya-karya penulis Tionghoa itu juga progresif. Tengok saja Roema Sekola jang Saja Impiken. Penulisnya adalah Kwee Tek Hoay. Terbit pada 1 Desember 1925. Isi tulisan tersebut juga begitu maju. Sekali lagi, melampaui zaman.

Esai itu ditulis dengan gaya berkisah. Isinya adalah bayangan tentang sebuah sekolah ideal. Tempat para siswa tidak hanya mempelajari teori, tetapi juga praktik. Tidak cuma menghafal materi akademik, tetapi juga belajar tata krama. Guru-guru tidak hanya mengajar, tetap menjadi partner belajar. Betul-betul pemikiran yang lebih maju seabad daripada orang sezamannya.

Dalam perjalanannya, karya orang Tionghoa itu tidak hanya tidak diakui. Tetapi, warga Tionghoa pun hidup dalam tekanan. Terutama ketika zaman Orde Baru. ’’Orde Baru menyerap kebijakan Belanda itu. Itu gilanya Orde Baru,’’ ujar Azmi… (*)

*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada

SERI BERIKUTNYA: Melawan dengan Informasi

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: