Es Teh Tumpah, Pembunuh Dihukum Mati

Es Teh Tumpah, Pembunuh Dihukum Mati

-Ilustrasi: Annisa Salsabila - Harian Disway-

Sabtu, 4 Juni 2022, atau dua hari kemudian, Ryan ditangkap, masih di wilayah Tanah Bumbu. Ia dijerat Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Meskipun, dari kronologi, pembunuhan itu spontan. Tidak cukup waktu buat Ryan berpikir. 

Kata ”cukup waktu” merupakan kunci penerapan pasal 340. Sebagai pembeda dengan Pasal 338 KUHP, pembunuhan biasa (bukan terencana). 

Polisi menjerat Pasal 340 dan jaksa setuju. Pun hakim sependapat, menjatuhkan hukuman maksimal, hukuman mati. Mungkin pertimbangan penegak hukum menilai dari tingkat sadisme perkara itu. Dan, rasa keadilan masyarakat.

Tapi, paling tak habis pikir, mengapa motif sangat sepele menimbulkan reaksi sekejam itu? Bukankah es tumpah adalah kejadian wajar dan sering terjadi? Harganya pun tak sampai sepiring nasi.

Ryan tidak gila. Saat kejadian, ia tidak dalam pengaruh minuman alkohol. Tidak disebutkan latar belakang dendam dalam berkas perkara. Kejadian spontan yang kejam. Mengerikan.

Martin Daly dalam bukunya yang bertajuk Killing the Competition: Economic Inequality and Homicide (Routledge, 2017), menjelaskannya. 

Pembunuhan tidak selalu bermotif ”berat”. Maksudnya, masalah berbobobot signifikan yang mampu menimbulkan reaksi emosional meluap dalam ukuran universal. Melainkan, penyebab sepele pun bisa memicu pembunuhan. 

Diulas di situ, umumnya pembunuhan bermotif ”berat”. Tapi tidak selalu.

Kriminolog di abad ke-20 telah mengetahui selama beberapa dekade bahwa ketimpangan penghasilan dalam masyarakat adalah prediktor terbaik untuk pembunuhan. Gampangnya, ketimpangan kaya dan miskin yang terlalu lebar atau jauh jadi bibit unggul pembunuhan.

Dilanjut di buku, ada jawaban yang sederhana dan meyakinkan. Kebanyakan pembunuhan adalah kesudahan dari interaksi kompetitif antara laki-laki. Secara relatif, di mana barang yang diinginkan didistribusikan secara tidak adil dan persaingan untuk barang tersebut.

Ketimpangan penghasilan dalam masyarakat jadi semacam bara dalam sekam. Dari perspektif si miskin. Tidak tampak di permukaan, tapi ada. Terselip kecemburuan sosial yang mengendap jadi dendam. Maka, dengan pemicu peristiwa kecil, bara api itu membesar seketika. Jadi kelihatan mengagetkan.

Daly adalah guru besar emeritus psikologi di McMaster University di Ontario, Kanada. Ia menulis buku itu setelah mempelajari hubungan antara ketimpangan pendapatan masyarakat dan pembunuhan selama beberapa dekade. 

Daly mengatakan, bagi pelaku pembunuhan yang masuk teori tersebut, ia merasa pegang kendali. Punya power. Harga diri naik drastis. Sebagai kompensasi rasa rendah atas penghasilan yang kecil, terhadap korban yang berpenghasilan lebih besar. 

Juga, pelaku mempertaruhkan masa depan yang tidak bagus. Maksudnya, pelaku punya kalkulasi otomatis, bahwa hasil (pegang kendali) lebih tinggi dibanding risiko (masa depan yang memang suram). 

Kajian itu menjadi perhatian pemerintah negara-negara Barat, untuk menerapkan pajak sangat tinggi. Orang makin kaya kena pajak makin besar. Uangnya dikelola negara. Didistribusikan (tanpa korupsi) untuk memberi subsidi si miskin. Misalnya, sekolah dan kesehatan gratis. Penganggur digaji negara. Lansia diberi tunjangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: