Kisah Arjuna di Balik Seni Jemparingan: Olahraga Olahrasa

Kisah Arjuna di Balik Seni Jemparingan: Olahraga Olahrasa

R Muhammad bin Rachmad bersama para peserta jemparingan dalam acara pekan budaya Fisib Universitas Trunojoyo Madura 2019--Dokumentasi UKMF Orgasib

BANGKALAN, HARIAN DISWAY - Jemparingan itu tidak memanah dengan mata, tetapi dengan hati. Pernyataan itu disampaikan R Muhammad bin Rachmad, budayawan sekaligus pendiri Padepokan Jemparingan Songgo Sukmo, BANGKALAN.

Jemparingan tak sama dengan plahraga panahan pada umumnya. Kata Aang, sapaan Muhammad, jemparingan merupakan olahraga tradisional Indonesia yang sudah ada sejak kerajaan Mataram.

Perbedaan mendasar jemparingan dengan panahan umum terletak pada posisi badan saat membidik. Jika panahan modern membidik secara berdiri, jemparingan dengan duduk bersila, dan bersimpuh bagi perempuan.

Adapun perbedaan lain, yaitu dari alat serta sasaran target. Panahan modern memiliki banyak perlatan sedangkan, jemparingan menggunakan alat sederhana: Gandewa dan anak panah atau dedher yang terbuat dari kayu atau bambu.

Sedangkan panahan modern menggunakan sasaran target lingkaran, jemparingan dengan bandhul atau orang-orangan.

Dalam jemparingan setiap pemanah wajib memakai pakaian tradisional Jawa: Baju jas laki–laki berkerah tegak atau biasa disebut surjan. Sedangkan bawahannya memakai kain jarik, lalu memakai ikat kepala tongkosan ataupun blangkon.

BACA JUGA:Magnet Gladhen Jemparingan on Delepen Pasuruan Sampai ke Luar Jawa

BACA JUGA:Kurikulum Bermain Tematik Terbaru Kampung Lali Gadget Sidoarjo


Arga Arya memainkan jemparingan (panahan) di Kampung Lali Gadget, Minggu, 29 Mei 2022.-Boy Slamet-Harian Disway-

Jemparingan mengandung nilai kebudayaan yang kental serta syarat akan makna filosofis. 

“Makna saat pemanah membidik dengan duduk, karena pada dasarnya manusia lebih tenang saat duduk. Lalu saat duduk itu menunjukkan kesamarataan saat memanah, tidak ada lagi status kaya miskin, berpangkat, karena semua dianggap sama, seperti saat kita menghadap Tuhan,” ungkap Roy, salah satu penggiat Jemparingan Padepokan Songgo Sukmo.

Posisi duduk laki-laki yang tegap bersilah memiliki makna siap untuk menjalani hidup, Sedangkan sikap duduk perempuan yang tegap bersimpuh, sebagai tanda wanita harus tetap punya pendirian kokoh, meski memiliki sisi kelembuatan.

Ada ungkapan begini: Pamenthanging gendewa pamanthenging cipta yang artinya ketika menarik gendewa harus memiliki hati dan yakin pada sasaran yang dituju.

Perasaan saat memanah harus stabil. Karena itulah faktor ketenangan sangat menentukan selain indera pengelihatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: