Stop Tanya: Kapan Nikah? Sudah Isi? Tambah Anak Lagi Dong Biar Ramai!

Stop Tanya: Kapan Nikah? Sudah Isi? Tambah Anak Lagi Dong Biar Ramai!

Ilustrasi perempuan dan tuntutan sosial.-Salman Muhiddin/Harian Disway-

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Setelah menyandang gelar sarjana dari salah satu instansi, Bunga (anonim) harus menghadapi realita kehidupan.

 

Muncul pertanyaan-pertanyaan nyelekit seperti ini:

 

Sudah kerja? Mau jadi apa?

 

Kapan nikah? Dikenalin ke keluarga dong pacarnya.

 

Sarjana pendidikan kok enggak ngajar.

 

Lepas menikah, Sudah isi? Sudah berapa bulan?

 

Kok enggak hamil-hamil sih?

 

Setelah punya anak: Kurang rame nih rumahnya, tambah satu lah.

 

ASI enggak keluar, ibunya sih enggak doyan makan sayur.

 

"Lhah, kamu siapa kok ngatur-ngatur?," ucap Bunga dalam hati. Meski dongkol pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikirannya. Ada desakan untuk memenuhi semua tuntutan itu.

 

Bunga terbawa arus tekanan sosial hingga otaknya "meledak". Secara tak sadar, ia berupaya keras memenuhi semua permintaan orang-orang. Yang kalau dituruti semuanya, bakal muncul pertanyaan lanjutan. Tak ada habisnya.

 

Skenario hidup memang selalu menghadapkan kita pada berbagai pilihan. Yang terkadang sulit sekali memilihnya.

 

Dalam membuat pilihan, seseorang biasanya dihadapkan kepada dua opsi. Memilih sesuai dengan kondisi dirinya, tetapi bertentangan dengan apa yang terjadi di masyarakat sosial.

 

Atau, memaksakan diri memilih opsi yang tidak sesuai dengan kondisi dirinya dan memenuhi ekspektasi masyarakat.

 


Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan-Tokopedia-

 

Ketika seseorang menjatuhkan pilihan pada apa yang sesuai dengan kondisi dirinya dan bertentang dengan apa yang terjadi di masyarakat sosial, masyarakat cenderung merespon dengan memojokkan si pemilih.

 

Mereka menganggap bahwa tuntutan sosial merupakan sesuatu hal yang saklek, permanen, dan wajib diikuti.

 

Padahal, setiap orang berhak untuk memilih sesuai dengan apa yang mereka inginkan tanpa harus mengikuti tuntutan sosial yang ada di masyarakat.

 

Memilih profesi lain dibandingkan menjadi PNS setelah lulus dari perguruan tinggi misalnya. Atau memilih Childfree yang sedang ramai diperbincangkan gara-gara pernyataan influencer Gitasav.

 

Sampai akhirnya Bunga menemukan buku karya Ester Lianawati: Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan. Serigala dianalogikan dengan kontotasi positif.

 

Serigala memiliki indra yang tajam, intuisi kuat, kepedulian terhadap sesama, keberanian, kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi dan kondisi, serta kekuatan, dan daya tahan. Sayangnya, naluri dari serigala itu selama ini ditekan oleh nilai dan sistem yang ada di masyarakat. Sekian lama budaya patriarki berupaya menjinakkan perempuan. Perempuan hidup dalam ketakutan untuk bertindak dan mengambil keputusan (halaman 115).

 

Tekanan itu menjadi rasa kekhawatiran. Ada banyak seterotip yang kadung diamini mayoritas masyarakat patriarki. Bahwa setiap tindakan, keputusan, dan pilihan-pilihan perempuan tak bisa lepas dari bayang-bayang tuntutan sosial itu.

 

Padahal nilai-nilai yang belum tentu cocok itu sering menjelma sebagai sesuatu yang menjerat dan membatasi gerak. Arah hidup jadi terkekang dan menjadikan perempuan tidak bahagia.

 

Jadi, sampai kapan kita terkungkung dalam jeratan itu? Yang biasanya menyampaikan pertanyaan nyelekit itu memang peduli atau cuma kepo? Atau memang dasarnya dia julid.

 

Begitulah perasaan Bunga setelah membaca buku itu. Dia kini bisa "mekar" tanpa peduli gulma di sekitarnya. (Umaimah ‘Iffat)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: