Series Jejak Naga Utara Jawa (19) : Boen Bio, Simbol Perlawanan Terhadap Belanda

Series Jejak Naga Utara Jawa (19) : Boen Bio, Simbol Perlawanan Terhadap Belanda

Kelenteng Boen Bio berdiri megah di Jalan Kapasan, Surabaya, Kelenteng ini dibangun untuk membentengi kristenisasi yang dilakukan oleh Belanda.-Boy Slamet-Harian Disway-

Daerah pecinan sudah pasti punya kelenteng. Namun, Boen Bio, tempat ibadah yang ada di kawasan pecinan Surabaya ini, sangat spesial. Ia merupakan kelenteng Konghucu dengan tata cara peribadatan yang berbeda. Sembahyangnya seperti Kristen. 

 

''KALAU yang modelnya seperti ini, Boen Bio satu-satunya di Indonesia. Bahkan di Asia Tenggara,’’ kata Liem Tiong Yang, rohaniwan Konghucu sekaligus pengurus kelenteng Boen Bio. 

 

Model yang disebut Liem memang unik. Bangunan itu tidak seperti kelenteng pada umumnya. Bagian luarnya memang dijaga sepasang kilin—makhluk mitologi—sebagai simbol pelindung dari energi-energi jahat. Namun, di halamannya, tidak ada hiolau—tempat menancapkan hio untuk sembahyang. 

 

Di bagian dalam, ada altar yang cukup besar. Namun, di atasnya, tidak ada satu pun patung dewa. Alih-alih patung, yang dipasang berjajar adalah puluhan sien ci atau papan arwah. Bertulisan nama-nama orang-orang yang dihormati. Dalam aksara Mandarin yang sangat kuno. 

 

Di samping altar, berdirilah sebuah mimbar. Di sisi kiri ruangan, terdapat bangku-bangku panjang dengan tatakan kaki. Persis seperti di gereja. ’’Sembahyangnya ada lagu-lagu pujian. Ada renungan juga. Makin mirip dengan ibadah di gereja, kan?’’ kata Liem, kemudian menyeruput es teh di hadapannya. 

 

BACA JUGA: Pusat Bisnis sebagai Tempat Dugem

 

’’Karena sebenarnya Boen Bio ini didirikan untuk menangkal Kristenisasi pada kalangan Tionghoa yang digencarkan oleh Belanda. Jadi umat Konghucu dibikinkan kelenteng yang mirip dengan gereja. Biar enggak kepingin pindah Kristen,’’ beber Liem, pria kelahiran 16 Juni 1963 itu.

 

Boen Bio secara resmi berdiri pada 1907. Namun, cikal bakalnya, Boen Tjhiang Soe, sudah ada sejak 1883. Itu adalah sebuah kelompok yang aktif mengembangkan kesusastraan dan filosofi. Seperti yang diajarkan oleh reformis Konghucu Kang Yu Wei pada akhir abad ke-19. 

 

Boen Thjiang Soe sendiri didirikan sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda. Biaya pembangunannya diambil dari denda yang dibayarkan oleh pemerintah Belanda terhadap warga Tionghoa. Waktu itu, Belanda berkonflik dengan para pedagang Tionghoa, terkait monopoli komoditas. 

 

Eh, ketika kasusnya dibawa ke pengadilan, Belanda kalah. Mereka harus membayar denda. Nah, denda itu tidak dipakai untuk menutup kerugian dagang akibat monopoli Belanda. Melainkan digunakan untuk mendirikan rumah ibadah. 

 

Perbincangan tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa dengan Liem Tiong Yang (kiri).-Boy Slamet-Harian Disway-

 

Nah, kelenteng itu baru fokus menebarkan ajaran Konghucu setelah berubah menjadi Boen Bio. ’’Makanya namanya Boen Bio. Boen, atau dalam bahasa Mandarin-nya wen, artinya sastra. Boen Bio berarti temple of literature. Atau kuil literatur,’’ jelas Liem. 

 

Karena itu, semua yang ada di dalam kelenteng adalah karya-karya kesusatraan yang mengandung ajaran Konghucu. Pepatah-pepatah kuno yang sarat dengan simbol dan pesan kebajikan bertebaran di berbagai sudut. Demikian pula ornamen-ornamen, hiasan, bahkan arsitekturnya. Semua ditata berdasarkan prinsip keseimbangan, yin dan yang.

 

Misalnya, di sisi dinding yang kiri, ada tulisan besar berwarna hitam dalam aksara Mandarin. Bunyinya lian jie. Artinya suci hati dan pengendalian diri. Tepat di seberangnya, tulisannya zhong xiao. Yang berarti satya (setia) dan berbakti. 

 

’’Suci hati dan pengendalian diri itu kalimat pasif. Artinya, kita melakukan kebaikan dengan mengendalikan pikiran dan perbuatan,’’ jelas Liem. ’’Sebaliknya, setia dan berbakti adalah usaha yang kita lakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebajikan,’’ papar pria asli Donokerto, Surabaya, itu.

 

Tentunya, upaya Boen Bio menangkal Kristenisasi tidak hanya melulu lewat pembangunan kelenteng megah dengan arsitektur mewah. Yang lebih efektif justru lewat pendidikan. Pada awal berdirinya, para aktivis Konghucu langsung mendirikan sekolah-sekolah. Mulai level usia dini sampai sekolah menengah. Lengkap. Lokasinya di Kapasan Dalam, di belakang kelenteng Boen Bio. 

 

Meskipun didirikan oleh yayasan Konghucu, sekolah itu terbuka untuk umum. Siapa saja boleh bersekolah di sana. Tapi, memang kebanyakan muridnya adalah warga Tionghoa. ’’Momentumnya pas sekali. Karena saat itu kan orang Tionghoa sulit sekolah, ya. Wong masuk kampus negeri aja ada kuotanya,’’ celetuk Liem. 

 

Sekolah-sekolah itu masih ada hingga kini. Siswanya juga masih ada, meski tak banyak. Namun, pengurus Boen Bio bersikeras bahwa mereka tetap harus dirawat dan dilayani. Seperti konsistensi Boen Bio merawat ajaran agama dan budaya Konghucu. Demi dunia yang damai dan harmonis. (*)

 

*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada

 

SERI BERIKUTNYA: Keris Bertengger di Dalam Kelenteng

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: