Series Jejak Naga Utara Jawa (20) : Keris Bertengger di Dalam Kelenteng

Series Jejak Naga Utara Jawa (20) : Keris Bertengger di Dalam Kelenteng

Altar utama Boen Bio bersekat gebyok yang membatasinya dengan aula tengah. Di balik gebyok itu terdapat tiga keris.-Boy Slamet-Harian Disway-

Sebagai kuil Konghucu yang dibangun pada masa kolonial, Boen Bio memiliki arsitektur yang unik. Ia tidak sepenuhnya bergaya Tionghoa. Ada rasa Belanda dan Jawa yang cukup kuat. 
 
MUDAH sekali mengenali kelenteng Boen Bio. Jika kita menyusuri Jalan Kembang Jepun, lurus ke arah timur, masuk ke Jalan Kapasan. Maka kelenteng itu bakal tampak berdiri megah di sisi kanan jalan. Di sisi selatan. Mengusung arsitektur Tionghoa yang khas, dengan atap ekor walet, serta dominasi warna merah, hitam, dan emas. Terasnya ditutup pagar besi yang dicat merah dan kuning.
 
Rohaniwan Konghucu Liem Tiong Yang mengingatkan bahwa Boen Bio memiliki makna kuil literatur. Atau tempatnya para terpelajar. Maka, segala yang ada dalam bangunan tersebut mengandung ajaran Konghucu yang membawa manfaat bagi semua umat. 
 
’’Semua ini ada maknanya. Penataan ruang, tiang, hingga ornamen-ornamennya menyimbolkan sesuatu,’’ jelas salah seorang pengurus Boen Bio itu. 
 
 
Di luar bangunan, dari jalan menuju teras kuil, terdapat empat anak tangga. Itu melambangkan empat tujuan umat masuk ke kuil. Anak tangga pertama adalah simbol niat memasuki kuil. Yakni untuk belajar agama. Anak tangga kedua, tujuan ke kuil adalah untuk membersihkan hati dan pikiran. Supaya senantiasa berprasangka baik kepada sesama. 
 
Anak tangga ketiga seolah mengingatkan, bahwa dunia ini tidak kekal. Maka, manusia harus selalu berbuat baik. ’’Yo buat sangu nek mati,’’ kata Liem, lantas terkekeh. Maksudnya, kebaikan bisa menjadi bekal mengarungi kehidupan sesudah mati. Nah, anak tangga keempat menyimbolkan kesiapan kita menghadap Tuhan Yang Mahaesa. 
 
Teras itu disangga oleh empat pilar kukuh yang dihiasi ukiran naga emas. Maknanya, di empat penjuru lautan, semua adalah saudara. Sepasang kilin melindungi agar jangan sampai ada energi negatif yang masuk ke kelenteng. Di Boen Bio, kilinnya tidak ada sepasang. Melainkan enam pasang. Jadi, totalnya 12 ekor.
 
Empat kilin menjaga empat arah mata angin. Dua pasang lainnya menjaga dari sisi atas dan bawah. ’’Jadi, kelenteng ini dilindungi dari segala penjuru,’’ jelas Liem. 
 
Di langit-langit teras, ada lima lampu tempel. Itu melambangkan lima jenis hubungan dalam masyarakat. Yang pertama adalah raja dan menteri. Atau atasan dengan bawahan. Kedua, orang tua dan anak. Ketika, suami dan istri. Keempat, kakak dan adik. Dan yang terakhir hubungan antarteman atau sahabat. 
 
Dinamika hubungan itu dapat berubah-ubah dalam hitungan jam. Saat pagi, di kantor, kita menjalani hubungan antara atasan dengan bawahan. Saat lunch, kita bertemu sahabat. Pulang ke rumah, kita bisa menjadi orang tua atau anak. Bisa juga menjalankan peran sebagai kakak atau adik. ’’Kelima hubungan itu harus dijalankan secara seimbang. Jangan berat sebelah,’’ terang Liem. 

Lampu tempel yang menghiasi teras kelenteng Boen Bio. -Boy Slamet-Harian Disway-
 
Oh ya, teras sepanjang sekira 12 meter itu dibagi menjadi tiga. Melambangkan tri pusaka ajaran Konghucu. Yakni bijaksana, cinta kasih, dan berani. Tiap bagian dibatasi oleh pagar kayu setinggi setengah meter. Artinya, di antara ketiganya, ada batas yang tak boleh dilanggar. Ada aturan main yang harus dijaga.
 
Lima pintu kelenteng melambangkan pancaindra. Juga bisa diartikan bahwa raga kita dikendalikan oleh lima kebajikan. Yakni cinta kasih, kebenaran, kebijaksanaan, kesusilaan, serta dapat dipercaya. 
 
Begitu masuk ke dalam kelenteng, tampaklah aula besar yang menjadi pusat pendidikan agama. Di dalamnya ada dua pilar naga yang lebih besar daripada yang di teras. Jumlahnya dua. Sebagai saka guru bangunan. Ia melambangkan dua ajaran pokok Konghucu. Yakni zhong dan shi.
 
’’Zhong artinya satya atau setia menjalankan ajaran agama. Dan shi artinya tepa selira atau tenggang rasa kepada sesama,’’ kata Liem, pria 59 tahun itu. 
 
Meski dibangun dengan prinsip-prinsip religi yang kental, Boen Bio tidak hanya mengusung gaya arsitektur Tionghoa. Kelenteng itu mulai dibangun pada 1903, waktu zaman pendudukan Belanda. Maka, tak mengherankan kalau ada unsur-unsur Eropa di dalamnya. Misalnya pada jendela dan langit-langitnya. 
 
Ya, sisi kanan dan kiri dinding kelenteng dilengkapi dengan jendela besar yang dicat kuning. Jendela itu, jika dibuka, ada pilarnya. Seperti di rumah-rumah lawas Betawi. Sedangkan langit-langitnya yang dicat biru tersusun dari bilah-bilah kayu. Kuat dan presisi. Serta dapat menjaga ruangan tetap adem meski cuaca Surabaya sedang panas-panasnya.
 
Di sisi lain, ada gaya arsitektur Jawa juga. Jika diperhatikan, antara aula dengan ruang altar dibatasi dengan gebyok. Alias partisi dari kayu yang diukir cantik. ’’Penggunaan gebyok sebagai pembatas antar ruangan itu kan Jawa banget,’’ kata Liem. ’’Terjadi akulturasi budaya di sini. Belanda, Jawa, dan Tionghoa berdampingan. Identitas masing-masing tidak hilang,’’ lanjutnya. 
 

Perbincangan Liem Tiong Yan (tengah) dengan tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway.-Boy Slamet-Harian Disway-
 
Liem lalu menunjukkan sesuatu. Yang barangkali benda paling unik sekaligus paling janggal berada di dalam kelenteng. Yakni, keris. Tidak cuma satu. Tetapi tiga. Masing-masing dibungkus kain. Satu keris pakai kain kuning dengan tali merah. Dua lagi pakai kain kuning. Semuanya diletakkan di balik gebyok. Tinggi. Kalau kita tidak dengan sengaja menengadah, keris itu pasti lolos dari pengamatan. Umat yang memandang dari depan gebyok pun pasti tidak bakal melihatnya.
 
’'Sudah lama banget ada keris. Entah sejak kapan,’’ kata Liem. 
 
Liem tak menampik, meski letaknya tak mencolok, ada saja umat yang ’’memergoki’’ keris itu. Lalu memprotes. Kenapa ada keris di situ? ’’Ya saya jawab. Lha lapo mikirno keris? Sembahyang iku nyembah sing nang ngarep iku, lho,’’ katanya gemas, seraya menunjuk ke puluhan papan arwah yang tertata rapi di altar.
 
Lalu, apakah keris itu diruwat juga? Dimandikan tiap bulan sura? ’’Pasti dimandikan. Dicuci. Tetapi ya tidak pas sura,’’ ucap Liem. Sesekali keris itu dicuci ketika leluhur sedang tidak bersemayam di kelenteng.
 
Kapan itu? Menjelang Imlek.
 
Orang Tionghoa percaya, bahwa menjelang tahun baru, dewa dan leluhur kembali ke nirwana. Untuk melaporkan amal perbuatan manusia dalam setahun terakhir. Ketika itulah, patung atau papan kimsin kosong. Tidak ada dewa yang bersemayam di sana. Saat itulah patung bisa dicuci. Dibersihkan.
 
Begitu juga dengan keris itu. Mumpung ’’tuan rumah’’ sedang tidak ada. ’’Jadi bisa menek ke atas. Ambil keris. Terus dicuci. Tetapi ya enggak tiap tahun bersihkan keris,’’ ujar Liem.
 
Betapa pun, itu tetap membuktikan bahwa umat Boen Bio tetap merawat tradisi yang mewujud menjadi berbagai simbol di dalam kelenteng elok tersebut. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: