Series Jejak Naga Utara Jawa (21) : Tapak Kejayaan Rumah Abu Han
Courtyard bagian tengah sebelum memasuki area altar Rumah Abu Han, Jalan Karet, Surabaya.-Boy Slamet-Harian Disway-
Dulu, kapal-kapal pengangkut aneka komoditas masih bisa merayapi Kalimas hingga ke tengah kota Surabaya. Tentu, para kelasi yang melintas di sungai besar itu bisa akan langsung terpesona melihat rumah tersebut.
Rumah Abu Han dibangun pada 1876. Pemrakarsanya adalah Han Bwee Koo. Ia bukan orang sembarangan. Konglomerat pada zamannya. Orang penting di masanya. Aristokrat sekaligus birokrat.
Sejarah mencatat bahwa Han Bwee Koo adalah keturunan keenam dari marga Han pertama yang mendarat di Nusantara. Ialah Han Siong Kong yang tiba di Lasem, Jawa Tengah, pada akhir 1600-an.
Kisah keluarga Han di Lasem ini memang legendaris. Termasuk cerita tentang kutukan Han Siong Kong yang melarang keturunannya tinggal di Lasem. Bahkan, melewati pun tak boleh. Jika kutukan itu dilanggar, pasti ada malapetaka menimpa.
Yang terang, keluarga Han memang menyebar ke banyak kota. Termasuk di Surabaya.
Keluarga ini dikenal dekat dengan VOC. Tak heran, bisnisnya lancar. Mulai tebu, karet, hingga gula. Jabatan pun mudah diraih. Yakni, sebagai Kapitein der Chinezen. Pejabat Tionghoa yang diberi wewenang mengatur pecinan.
Posisi Rumah Abu Han (tertulis di plakat lawas sebagai Roemah Sembajang Kaloearga Han Bwee Koo) juga sangat strategis. Menghadap Kalimas. Terletak di Chinezevoorstraat. Artinya kira-kira: jalan utama pecinan. Pada zaman Orde Lama, jalan itu disebut sebagai Petjinan Koelon. Kini menjadi Jalan Karet.
Rumah Abu Han juga cukup dekat dengan Jembatan Merah. Artinya, menyeberang sedikit saja, sudah sampai ke kawasan kota lama, kawasan Eropa pada zaman kolonial.
Saat tim Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway tiba pada Rabu, 25 Januari 2023, tentu wajah Jalan Karet sudah tidak seperti dua abad silam. Kalimas tak langsung terlihat. Ia tersembunyi di balik gedung-gedung lawas. Jalanan juga terasa sempit. Honda CR-V Prestige yang kami gunakan untuk ekspedisi seperti kesulitan mencari tempat berhenti. Beberapa ruas bahu jalan dihuni truk-truk yang sedang bongkar muat.
Bersama Freddy H. Istanto, founder Surabaya Heritage Society, kami akhirnya melangkah menuju Rumah Abu Han.
Pintu kayunya tampak tertutup. Begitu pula dua jendela bundar yang mengapit pintu dengan ukiran apik tersebut.
Yang kali pertama dituju Freddy, dosen arsitektur Universitas Ciputra tersebut, adalah bangunan di sebelah selatan Rumah Abu Han. ’’Saya bilang penjaganya dulu,’’ ucapnya lantas bergegas.
Tak seberapa lama, Freddy keluar bersama seorang lelaki. Mereka muncul dari pintu utama Rumah Abu Han. Sang penjaga rumah lantas membuka gerbang besi berwarna merah yang tergembok.
Kami pun melangkah masuk. Dan sejak di teras rumah, kekaguman sudah menyeruak.
’’Kalau bukan crazy rich pada jamannya, gak mungkin iso mbangun koyo ngene (tidak mungkin bisa membangun seperti ini, Red),’’ kata Freddy.
Memang, meski sudah berusia nyaris 1,5 abad, tapak kejayaan Rumah Abu Han masih kuat. Rumah itu tinggi. Atapnya bersusun dua pada bagian tengah. Seperti bertumpuk. Bubungan-bubungannya melengkung ke atas dengan bentuk ekor walet di ujungnya. Lambang kemakmuran dalam tradisi Tionghoa. Simbol bahwa yang membangun rumah itu memang orang makmur.
Atap pada bagian teras rumah itu disangga sepasang pilar kukuh. Mulus. Tanpa ornamen. ’’Ini sudah gaya Eropa,’’ kata Freddy soal pilar tersebut.
Perpaduan langgam arsitektur itulah yang membuat Rumah Abu Han begitu unik. Itulah yang dituliskan dalam prasasti oleh Pemkot Surabaya pada 2015. Prasasti itu dari marmer kelabu dengan tulisan berwarna emas. Dipasang di dinding depan, persis di utara pintu masuk. Bunyinya, Gedung ini dibangun pada awal abad XVIII dengan perpaduan tiga langgam arsitektur: Melayu/Jawa, Eropa, dan China, yang merupakan keturunan HAN pertama yang datang di Indonesia di kota Lasem pada tahun 1673.
’’Lihat jendela ini. Bayangkan, seberapa besar kayunya,’’ ucap Freddy seraya menepuk jendela bulat di bagian depan rumah. Tak lama kemudian, ia melangkah masuk dan membuka jendela tersebut.
Daun jendela itu membuka ke arah dalam. Menyisakan ukir-ukiran yang menjadi pembatas. Seperti terali. Tetapi, bentuknya sangat apik. Sulur-suluran dengan lengkungan mega mendung. Sepasang kepala naga berhadapan ke arah tengah, mengapit bentuk geometris yang khas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: